Rabu, 14 Agustus 2013

Sabergale Academy - BAB 2

Matahari kembali menampakkan sosok gagahnya dan menghiasi langit dengan sinar keemasannya. Kaito tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Kenyataan bahwa ia adalah seorang sword dancer membuatnya terguncang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada dirinya.
“Bagaimana? Menjadi seorang sword dancer?”
“Selamat, Kaito-kun. Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
Kata-kata Megan bergema di ruang kosong pikiran Kaito, menghantuinya—mengejar-ngejarnya. Ia seakan dipermainkan oleh pikirannya sendiri, yang membuatnya terlampau jatuh dalam imajinasi liarnya. Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, ingatannya masih jelas, segar seperti baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Entah sudah berapa menit Kaito lewatkan hanya untuk duduk termenung di pinggir ranjangnya. Ia tak beranjak keluar kamarnya—dan sepertinya sama sekali tidak berniat untuk melakukannya—meskipun ia telah bangun. Yah, hari itu adalah hari dimana ia harus pindah ke Sabergale Academy. Tepat setelah pengajakan Megan, yang lebih mirip dengan peritah, kepada Kaito untuk pindah ke Sabergale Academy, Kaito memikirkan berbagai cara untuk mengabarkan hal itu pada orang tuanya tanpa membocorkan sedikit pun rahasia Sabergale Academy. Dengan kata lain, tentu saja ia harus mengarang cerita tentang perpindahannya ke Sabergale Academy. Itu menyakitkan bagi Kaito, tapi ia tak mau mengambil resiko jika ia harus berhadapan lagi dengan Sword Slayer tanpa memiliki pengalaman sword dance. Dengan begitu, keputusan untuk pindah memang keputusan terbaik.
Kaito mengepalkan tangannya, seolah-olah ia bisa meyakinkan dirinya dengan melakukan hal itu. Raut wajahnya yang berpikiran kosong telah berganti dengan sorot mata penuh percaya diri dan keyakinan yang kuat. Bukan saatnya mundur. Ia telah menentukan pilihan hidupnya, atau lebih tepatnya terpaksa harus menentukan pilihan. Jadi tidak ada cara lain selain terus melangkah maju dengan memilih pilihan terbaik yang ia miliki.
Setelah mengingat hal itu semua, Kaito menguatkan tekadnya. Ia menghela napas panjang dan berat.
“Aku akan bisa melewati ini semua,”
Ia bangkit dari kegelisahannya dan melangkah keluar kamar.


Tak banyak barang yang Kaito bawa. Hanya satu kopor, satu tas gendong dan satu tas jinjing. Ia membawa barang yang dikiranya akan berguna di asramanya nanti. Ia juga tak terlalu banyak membawa baju, karena ia tak terlalu suka membereskan barang-barang jika terlalu banyak. Tetapi saat ia telah tiba di tempat perjanjian, ia tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Megan. Kaito menyapu pandangannya, berharap melihat Megan melambai-lambai ke arahnya. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
“Yo, maaf membuatmu menunggu,”
Sebuah suara terdengar, membuat Kaito sedikit tersentak dan memalingkan kepalanya dengan cepat.
“Oh, yah, belum terlalu lama juga kok,”
Jawab Kaito, berusaha membuat suaranya tak terdengar kaget. Ia memperhatikan Megan yang mengenakan seifuku-nya, menghiraukan orang-orang di halte yang menatap sinis padanya.
“Baiklah, sekarang ikuti aku,”
Pinta Megan seraya memimpin jalan.
Cho, chotto mate[1], kita tak naik bis?”
“Naik bis? Ahahaha, yang benar saja, tak ada jalur bis menuju Sabergale Academy. Bahkan jalan di sekelilingnya pun tertutup sekali, khusus untuk orang yang tinggal di Sabergale Academy saja,”
“Oh, gitu ya, terus, bagaimana kita ke sana?”
“Hm, bagaimana ya?”
“Jangan main-main,”
“Ahaha, oh ayolah, kau memang tak bisa diajak bercanda,”
Mereka berjalan menusuri trotoar, menuju sebuah kompleks perumahan dengan dinding-dinding beton sebagai pembatas setiap rumah. Megan membimbing Kaito menuju sebuah tempat yang sama sekali asing. Hingga mereka sampai di sebuah jalan buntu, hanya ada sebuah tembok.
“Hei, apa ini? Hanya jalan buntu,” Keluh Kaito.
“Diam dan lihatlah,”
Raut wajah Megan berubah menjadi serius. Ia mengangkat tangan kanannya, mengarahkan telapak tangannya ke tembok yang kosong di depannya. Pusaran angin timbul di sekeliling telapak tangan Megan, seperti efek yang muncul dari sebuah kekuatan supernatural. Ukiran-ukiran bermunculan di tangan Megan. Bersinar seperti mengaktifkan sebuah sistem tertentu.
“Magic Skill : Teleport!”
Zuuung.
Dan sepersekian detik kemudian, sebuah lubang hitam besar muncul di atas tembok beton polos yang ada di hadapan mereka.
“Woaaa,”
Kaito melihat dengan kagum—sekaligus heran dan kaget, benar-benar sesuatu yang mustahil tapi nyata.
“Ayo masuk, sebelum ada yang melihat,”
Ucap Megan dan segera melompat ke lubang itu dengan tegas. Kaito mengikutinya dan ikut melompat bersama barang bawaannya.

“Uwaaa!”
Kaito berteriak dan terlompat jatuh keluar dari lubang yang tadi ia lewati.
“Bangunlah, lihat kita sudah sampai di gerbang,” Kaito menoleh pada perempuan yang berdiri di sampingnya, ternyata Megan tidak jatuh.
Kaito bangun dari posisi jatuhnya dan melihat ke depannya.
Matanya membulat, sebersit rasa kagum yang selama ini ia pendam naik ke permukaan. Tempat yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan kini tepat berada di depan matanya. Seperti mimpi. Bahkan dari gerbangnya pun sudah terlihat kemewahan dan keelitan dari gedung ini.
Kaito menelan ludah, menyadari bahwa ia telah sampai di gerbang Sabergale Academy. Tapi rasa keraguan yang mati-matian ia singkirkan semalam hadir kembali dan mengisi seluruh saraf kesadarannya. Raut wajahnya menjadi lesu dan penuh pertimbangan.
“Hey, apa yang kau lakukan? Cepatlah! Sebentar lagi akan ada upacara penyambutan. Kita tak boleh ada di sini,”
Perintah Megan membuat pikiran Kaito buyar. Kaito mengerjap dan menghela nafas. Syukurlah, gumam Kaito.
Seuntai senyum menghiasi wajah Kaito. Tanpa ragu lagi ia berjalan perlahan, mengikuti langkah Megan yang membimbingnya masuk ke kawasan Sabergale Academy—tempat semua rahasia tersimpan. Bukan lagi saatnya untuk meragukan keputusan yang telah ia ambil. Sudah saatnya ia melangkah maju dan melihat ke depan.
Dengan penuh percaya diri, Kaito mengikuti Megan menuju gerbang Sabergale Academy dan memantapkan hatinya untuk menyaksikan semua hal baru yang ada di balik tembok raksasa Sabergale Academy. Tepat saat ia melewati gerbang, yang tingginya hampir enam meter, langkahnya terhenti. Kaito menarik nafas cepat, tercekat. Ia telah disambut oleh beberapa murid dari Sabergale Academy, yang membuatnya salah tingkah dan kehilangan kemampuan untuk berbicara. Yah, Kaito tidak bisa menggambarkan situasi saat itu dengan kata-kata, pemandangan yang... aneh. Mungkin itu akan terlihat normal jika ia tidak berada di sebuah sekolah SMA elit dengan segala fakta tersembunyinya. Tapi yang Kaito lihat adalah beberapa murid yang terlihat normal dengan seifuku yang juga normal. Seifuku abu-abu dengan dasi berwarna biru. Bagian luarnya dilapisi jas biru muda dengan garis pinggir biru tua. Terlalu aneh untuk sebuah sekolah khusus yang dirahasiakan, karena ia sama sekali tidak melihat perbedaan mereka dengan murid-murid di sekolahnya yang lama.
Kaito mengangguk hormat ke beberapa murid yang tersenyum ramah padanya. Harus ia akui ini adalah permulaan yang menenangkan, karena sebelumnya ia telah membayangkan suasana tegang yang mungkin akan ia hadapi saat melewati gerbang Sabergale Academy.
“Megan-san! Wah jadi ini murid baru itu?”
Kaito mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang memanggil nama Megan. Ia adalah seorang laki-laki yang memiliki tubuh cukup tinggi. Rambut kuning panjangnya dibiarkan berantakan di atas kepalanya dan berkibar-kibar selama ia berlari kecil menuju Megan. Menggambarkan sifatnya yang kalem dan ramah. Wajahnya memiliki garis rahang yang tegas dan senyum manis yang dihiasi lesung pipit. Bola matanya berwarna biru terang seperti langit. Ia mengenakan seifuku-nya dengan jas yang dibiarkan terbuka, melambai-lambai selama ia berlari kecil. Megan menoleh dan seulas senyum menghiasi wajah manis Megan.
“Ya, ini murid baru yang aku rekrut dari Akihiko Gakuen. Kau ke sini untuk melihatnya, Yukio?”
“Tentu, karena bagaimanapun dia akan jadi teman kita semua untuk ke depannya. Oh ya, bagaimana dengan kamar asramanya? Sudah ada? Dengan siapa?”
“Sudah, itu sudah ditentukan oleh Guardians of Sword. Ia akan sekamar dengan Stieghart Marcus,”
“Stieg?”
Terdapat nada ragu dan bingung di ucapan Yukio.
“Ada apa?”
“Stieg...” Megan merasakan suara Yukio sedikit bergetar, dan melanjutkan, “Dia mati seminggu yang lalu. Dia ditemukan tidak bernyawa dengan satu tusukan pedang yang menembus tubuhnya, di West Hall,”
“Ap, apa?! Ti, tidak mungkin.... Apa yang terjadi?!”
“Aku tidak tahu, sepertinya investigasi lanjut dari kasus itu tidak diumumkan. Aku berpikir mungkin ini kasus besar yang melibatkan Guardians of Sword, karena itu sangat tertutup. Ketua dari tim investigasi, Nathaniel Crosser, hanya memberitahu kita bahwa penggunaan pedang diizinkan dan kita harus selalu mengaktifkan signer kita dimana pun kita berada,”
Megan terlihat syok dan terpukul. Keadaan Sabergale Academy semakin memburuk, diambang kehancuran. Tubuh Megan gemetar, karena rasa takut dan amarahnya, mendengar berita yang baru ia dengar. Selama ia di Akihiko Gakuen, informasi dari Sabergale Academy tidak dibocorkan kepadanya yang sedang bertugas. Ini membuatnya kesal. Kesal karena informasi sepenting ini baru ia ketahui sekarang.
“O, oi, maaf, sepertinya kalian sedang berdiskusi hal yang serius, tapi bagaimana kalau mengantarkanku dulu untuk ke wilayah Sabergale Academy ini?”
Megan dan Yukio mengerjap, seperti telah ditarik kembali untuk menghadap pada kenyataan. Megan kembali teringat pada alasan sebenarnya ia kembali ke Sabergale Academy.
“Ah, gomen ne Kaito-kun. Aku sampai lupa pada posisimu sekarang,” Ucap Megan diiringi tawa meminta maaf.
“Lebih baik kau mengantarnya ke kamarnya dulu. Lalu kita bisa bicarakan ini lagi. Aku tunggu di Café,” Yukio menepuk pundak Megan.
“Oke,”
Yukio pun pergi seraya melambaikan tangan. Meninggalkan Megan dan Kaito.
“Nah, ayo, kita ke tempat yang akan jadi kamarmu,”
Megan kembali menunjukkan jalan kepada Kaito. Kaito menurut dan mengikuti langkah Megan, mengikuti di belakangnya.
“Hei, tadi itu siapa?” Kaito bersuara, berusaha mencairkan suasana tegang yang tiba-tiba muncul di antara Megan dan Kaito.
“Oh, namanya Yukio Shirota. Dia juga seorang sword dancer. Bahkan dia adalah kakak kelasku. Dia orang yang berbakat, sekarang ini dia telah mencapai level 5 meskipun usianya masih muda,” Megan memulai ceritanya.
“Hoo, tapi aku masih tidak mengerti. Apa itu sword dancer? Dari mana asal pedangku waktu itu?”
Sword dancer adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menarik keluar pedang dari dalam tubuhnya. Pedangmu adalah dirimu. Itu mencerminkan dirimu yang sebenarnya,”
Kaito mengedipkan mata berkali-kali, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia masih tidak bisa mempercayai apapun yang Megan katakan. Megan melirik ke arah Kaito dan menghela napas.
“Yah, nanti kau juga akan mendapatkan pelajaran mengenai sword dancer,”
“Oh...” Kaito menggumam.
Keheningan yang mengisi langkah mereka membuat Kaito tertekan. Megan—lebih tepatnya Mizuki—yang selama ini ia kenal telah menjadi orang asing di matanya. Kini ia merasa ialah yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ini, sekolah ini, ataupun Megan, meskipun ia telah masuk dan bahkan menjadi salah satu dari Sabergale Academy. Kaito kembali berusaha membuka percakapan.
“Oh ya, Megan, di sini semuanya adalah sword dancer, tapi mereka memiliki level masing-masing? Bagaimana cara menentukan level seseorang? Dan aku ini level berapa?”
“Oh ya, kau belum tau ya, semua sword dancer memiliki level. Dimulai dari level 0 hingga 10. Selain itu sword dancer juga dikelompokkan berdasarkan pedangnya. Secara umum pedang sword dancer memiliki ciri yang hampir sama. Untuk orang baru seperti kau, seharusnya masih level 0. Tapi kita belum tahu jika belum diukur. Nanti kau juga akan tahu bagaimana cara menetukan level seorang sword dancer,” Jelas Megan panjang lebar.
“O, oh,”
Kaito hanya menggumam menandakan bahwa ia mendengarkan meskipun ia masih tidak mengerti.
Megan membalikkan badan dan tersenyum.
“Yah, kau tidak harus mengerti sekarang. Lama kelamaan kau juga akan mengerti sendiri. Seiring kau bersekolah di sini,”
Kaito tersenyum tipis.
“Sepertinya kita telah sampai, kau bisa lihat gedung di sana. Itulah asramamu,”
Megan menunjuk pada gedung besar bercorak. Warna dan bentuknya mengesankan gedung yang elegan dan megah. Kaito terpana, entah untuk yang ke berapa kalinya, dengan gedung-gedung di wilayah ini. Ia mulai berpikir berapa dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung megah sebanyak ini. Pemilik Sabergale Academy pastilah sangat kaya sehingga bisa membangun gedung-gedung di sini tanpa bantuan dari pemerintah. Yah, bagaimanapun Sabergale Academy adalah sekolah sangat rahasia yang bahkan pemerintah pun melepaskan tanggung jawab mengenai sekolah itu. Jadi tidak heran jika penduduk sekitar tidak bisa menolak keberadaan Sabergale Academy hanya dengan alasan iri.
“Jangan bengong saja! Lebih baik kau masuk dan melihat-lihat dalamnya. Kamarmu ada di lantai 3, kamar nomor 315. Kudengar pemandangan dari kamar itu sangat bagus karena bisa melihat matahari terbenam,”
“Benarkah?” Kaito menjawab dengan acuh. Ia malah terbenam dengan pandangan kagum pada desain dari gedung yang akan ia tinggali. Kaito masuk ke dalam gedung tanpa sedikit pun melepaskan pandangannya pada ukiran-ukiran sempurna yang terpahat di setiap tembok luar gedung asramanya. Matanya mengerjap lagi ketika melihat suasana dalam gedung berukir itu. Tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi. Suasana yang pas untuk sebuah asrama. Di bagian lobby terdapat sofa empuk yang berbahan kulit dengan bulu-bulu, terlihat mahal. Lampu gantung terbuat dari kaca yang biasa ada di sebuah pesta dansa menggantung di langit-langit lobby. Tepat di seberangnya terdapat meja resepsionis seperti hotel. Di situ tempat penitipan barang yang diantarkan kepada salah satu murid asrama. Megan dan Kaito menghampiri meja resepsionis dan disambut oleh seorang wanita setengah baya yang tersenyum ramah pada mereka.
“Nona Megan? Ada apa datang kemari?”
Sepertinya Megan dan orang itu telah mengenal satu sama lain.
“Aku membawa teman baru. Aku yang merekrutnya, dia pemula. Dia akan tinggal di asrama ini, kamar 315,”
“Oh, tunggu biar aku cek terlebih dahulu,”
Wanita itu kemudian beralih kepada sebuah layar setipis kaca bening dan mulai mengutak atik layarnya seperti sebuah komputer full-touch.
“Ah, ya benar kamar itu kosong sekarang. Pemilik kamarnya sudah tidak menempatinya,” Ujar sang resepsionis.
“Baik, aku akan mengantarnya ke kamarnya sekalian membantunya membereskan barang-barangnya,”
“Ok, maaf...” Si resepsionis menengok ke arah Kaito, menunjukan raut wajah bertanya-tanya mengenai namanya.
“Ah, oh, Kaito. Kaito Kakihara,”
“Oh, Kakihara-san, bisa kau ulurkan tangan kirimu?”
Walau bingung, Kaito mengulurkan tangan kirinya.
Sang resepsionis menjulurkan jarinya ke atas punggung tangan Kaito. Dia mulai membuat gerakan-gerakan berliuk, seolah-olah sedang menggambar di atas tangan Kaito. Jari sang resepsionis terhenti, diikuti bersinarnya tangan Kaito sesuai dengan bentuk gambar yang dibuat di punggung tangannya. Kaito terkejut dan hampir saja dengan reflek ingin menarik tangannya, namun berhasil ia tahan.
“Magic Skill : Key!”
Cahaya di tangan Kaito meredup dan menghilang digantikan dengan pola aneh di sepanjang jari tengah tangan kirinya.
“Apa ini?” kaito mengangkat tangan kirinya untuk melihat pola di jari kirinya lebih jelas.
“Itu kunci bagimu untuk masuk kamar. Dengan ini hanya kau yang bisa masuk ke kamarmu sendiri,”
Sekali lagi Kaito terpana dengan apa yang baru ia ketahui dan ia lihat. Sebelumnya ia tak pernah percaya dengan kemampuan semacam itu sampai setelah ia melihat bahwa itu nyata. Kaito memandang tangan kirinya dengan terpana.
“Tapi bagaimana cara kerjanya?” Tanya Kaito.
“Kau tinggal mengarahkan simbol itu ke panel bening yang ada di kamarmu. Dan pintu akan secara otomatis terbuka,”
“Woaa, sugoi[2],”
“Ayo kita ke kamarmu, aku tidak punya banyak waktu,” Megan menarik baju Kaito dan menyeretnya menuju lift.
Kaito memasuki sebuah lift luas berlapis kaca bening, sehingga ia bisa melihat pemandangan di sekitarnya atau kecepatan lift tersebut bergerak. Ia memperhatikan Megan mengoperasikan lift tersbebut. Kaito memiringkan kepalanya, tidak ada satu pun tombol di samping pintu lift. Hanya sebuah panel bening—sama seperti yang digunakan si resepsionis. Megan menarikan jarinya di atas panel bening itu, membentuk sebuah pola asing yang sama sekali tidak Kaito mengerti. Setelah jari Megan berhenti bergerak, lift mulai mengoperasikan perintah Megan dan bergerak naik. Jadi harus menghafalkan beberapa simbol untuk mengoperasikannya, pikir Kaito.
Lift mereka bergerak cepat, terlihat dari pemandangan di balik kaca bening lift yang bergerak turun dengan cepat. Sehingga tak butuh waktu lama bagi Kaito dan Megan untuk sampai di lantai tiga. Lift berbunyi, bunyi asing yang baru didengar Kaito. Bukan bunyi “ting” yang biasa terdengar di kebanyakan lift. Tapi justru bunyi piano klasik yang tersusun atas empat nada secara beruntun. Sebuah kejutan kecil yang membuat Kaito tersenyum.
Megan keluar dari lift, diikuti Kaito, dan selang beberapa detik pintu lift kembali menutup. Mereka berjalan di sepanjang lorong lebar yang berlapiskan karpet merah. Dinding-dindingnya dibungkus dengan wallpaper berwarna soft, membuat suasana lorong terlihat tenang. Kaito tidak bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melihat dinding-dinding, lukisan-lukisan, dan lampu-lampu yang menghiasi sepanjang lorong.
Setelah beberapa pintu mereka lewati, Megan berhenti pada sebuah pintu berwarna silver dengan gagang pintu berwarna keemasan. Di muka pintu terdapat panel bening yang cukup besar yang di bagian atasnya tertulis 315.
“Nah, ulurkan jarimu,”
Kaito pun menurut. Ia mengulurkan kepalan tangannya dan mengarahkan simbol di jari tengahnya ke panel bening itu. Dengan cepat panel tersebut merespon dan menampilkan sebuah kotak bergerak, bertuliskan “loading...” yang berkedip-kedip. Setelah kotak tersebut telah terisi penuh muncul sebuah nama. Nama Kaito, Kaito Kakihara. Dan secara otomatis pintu kamar terbuka.
“Wah, keren,”
Mata Kaito berbinar-binar.
“Oh ayolah, kau ini terlalu banyak terpesona,”
“Memangnya salah? Aku tidak pernah menemukan benda seperti ini di tempatku. Ini pasti teknologi yang canggih,” Ucap Kaito sedikit menggerutu.
Megan tersenyum geli, berusaha menahan tawanya.
“Ya, panel yang dari tadi kau temui itu salah satu teknologi canggih yang telah diciptakan Sabergale Academy di divisi teknologi dan informasi,”
Megan masuk ke dalam ruangan. Kaito pun mengikutinya masuk ke dalam kamar barunya.
“Eh? Jadi Sabergale Academy juga dibagi jadi divisi-divisi?”
“Ya, mereka yang masuk dalam divisi sama saja seperti petinggi. Dan mereka juga sword dancer. Tapi tak semua orang di sword dancer bisa masuk ke dalam divisi-divisi itu. Sebab mereka dipilih berdasarkan kemampuannya,”
“Hoo, kau sendiri? Kau masuk dalam divisi?”
Kaito menurunkan barang bawaannya dan mulai mengeluarkan isinya. Megan ikut membantu mengeluarkan isinya.
“Tidak, aku hanya murid biasa. Tapi Yukio masuk dalam divisi,”
“Oh ya? Divisi apa?”
“Divisi pertahanan,”
“Pertahanan?”
“Ya, dengan kemampuan sword dancer nya, ia sangat berguna dalam divisi pertahanan,”
“Hmm, aku jadi penasaran seperti apa bentuk pedangnya,”
“Yah, nanti juga kau akan lihat,”
Kaito mulai memperhatikan sekeliling. Kamar barunya cukup luas. Dilengkapi dengan pemanas dan pendingin. Ranjang miliknya ada di dekat lemari baju yang besar. Lemari baju tipe geser yang didesain satu paket dengan ruangan itu. Terdapat meja belajar dengan sebuah panel bening tertata rapi di atasnya. Lampu belajar juga berdiri di atas meja tersebut. TV LCD tergantung tepat di depan ranjang. Tembok bagian belakang TV membentuk lengkungan sebagai tempat masuk menuju kamar mandi. Kamar mandinya memiliki bath tub dan shower. Juga sebuah wastafel besar dengan kaca lebar di atasnya. Toilet duduknya juga didesain mewah. Semuanya dioperasikan dengan panel bening yang sama—termasuk keran, toilet dan shower.
“Kamar yang luar biasa!”
Kaito tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada setiap sudut ruangan. Dia terus memperhatikan kamar barunya, tersenyum puas seakan-akan ialah yang telah mendesain ruang kamarnya.
“Hah, anak ini tak pernah mendengarkan,”
Megan menghela napas dan melanjutkan mengeluarkan barang bawaan Kaito. Sadar akan kondisinya sekarang, Kaito menghampiri Megan dan mulai merapikan barang bawaannya sendiri.
Mereka tak menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membereskan barang bawaan Kaito. Setelah selesai, mereka duduk dalam kebisuan. Tak satu pun memulai pembicaraan. Membuat suasana sedikit... canggung. Menyadari suasana tak mengenakan yang tiba-tiba menyelimuti kamar Kaito, Megan berdiri cepat—terlalu cepat hingga terlihat gelisah.
“Aku ada urusan setelah ini. Kau bisa menghubungiku jika membutuhkan sesuatu. Selama malam ini kau bisa beristirahat atau jalan-jalan keliling wilayah Sabergale. Tapi lagipula matahari sebentar lagi terbenam, jadi lebih baik kau istirahat saja,”
“Um, iro iro arigatou[3],”
Douita[4],”
Megan hendak pergi tapi kemudian berbalik.
“Ah, kau sudah mengerti menggunakan panel itu?” Megan menunjuk pada panel bening yang ada di atas meja belajar Kaito.
“Oh, ya, aku belum mengerti...” Jawab Kaito polos.
“Sebenarnya tidak sulit, kau tinggal coba mengutak-atiknya sendiri. Lama kelamaan juga kau mengerti. Di sini sekolah cukup bawa panel itu, tak seperti sekolahmu yang dulu. Kau harus bawa banyak buku,”
Megan lalu tertawa dan membuka pintu kamar Kaito.
Ja mata ne[5], Kaito-kun,” Megan keluar kamar dan melambaikan tangan. Kaito membalas lambaian tangannya dan perlahan menurunkan tangannya. Ekspresi wajah Kaito yang santai berubah menjadi serius dan tegang.


Yukio menunggu kedatangan Megan di La Girandole Café. Sebuah tempat favorit murid-murid Sabergale di sore hari, menunggu matahari terbenam. Yukio menyesap kopi yang telah ia pesan sebelumnya, dan menghela napas lelah. Yukio menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk di salah satu meja pengunjung café. Ia dapat mencium wangi harum kopi dan cokelat yang kental di ruangan itu, sedikit membuatnya rileks dan santai meskipun otaknya tidak berhenti bekerja.
Yukio menyapukan pandangannya pada satu-satunya café di Sabergale Academy. Tidak banyak pengunjung pada sore ini. Yukio menoleh pada salah satu jendela di dalam café. Pandangannya menerawang jauh, tidak terfokus pada posisinya saat itu. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan dan pendapat mengenai keadaan Sabergale Academy akhir-akhir ini. Meskipun ia tahu bukan hanya ia yang memikirkan keadaan Sabergale sekarang—tapi hampir semua murid Sabergale. Mereka tak mau mati konyol untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Dengan kematian Stieghart, maka jumlah korban sudah mencapai sembilan orang. Dan di antara mereka bersembilan, tak ada hubungan yang memungkinkan untuk menentukan motif sang pembunuh. Mereka benar-benar dipilih secara acak. Walaupun jangkauan level yang diincar adalah level 0 sampai 4, itu hanya memberikan petunjuk bahwa mungkin pelakunya adalah orang yang memiliki level 5 ke atas. Menganalisa murid berlevel 5 ke atas bukanlah hal mudah. Tapi hal itu sudah dilakukan dan tidak ada sesuatu yang ditemukan.
“Yukio,”
Suara menyapa dari belakangnya membuat pikirannya kembali pada tubuhnya sekarang, di café.
“Oh, Megan, cepat juga kau,”
“Yah, tak butuh waktu lama bagiku untuk merapikan kamarnya,”
Megan duduk di hadapan Yukio dan memesan segelas cappucino.
“Nah, bagaimana dengan kelanjutan ceritamu?”
Raut wajah Yukio berubah menjadi lebih serius. Dia membetulkan posisi duduknya, memberikan kesan tegang pada suasana di antara mereka.
“Kau, seperti yang sudah kau ketahui, kejadian-kejadian yang terjadi di Sabergale sekarang-sekarang ini memang sangat ganjil. Aku juga tidak mengerti kenapa hal semacam ini bisa terjadi di sekolah kita yang merupakan anak-anak terpilih. Jadi aku menyimpulkan mungkin saja pelakunya adalah salah seorang petinggi di sini yang menjadi mata-mata organisasi pemerintah. Bisa jadi mereka melihat bahwa sekolah ini mengganggu—“
“Tapi itu terlalu jauh, aku tidak yakin hal itu mungkin. Kau juga tahu bahwa sekolah ini ada di bawah naungan pemerintah—walaupun mereka tak tahu apa-apa tentang sekolah ini, jadi buat apa mereka membunuh anak-anak yang memang sengaja mereka pelihara?”
“Justru itulah, mereka mendirikan sekolah macam ini mungkin awalnya hanya untuk sekolah biasa. Tapi setelah dipimpin oleh kepala sekolah pertama Sabergale, keadaan berubah. Sekolah ini jadi sangat tertutup dengan pemerintah, kau tahu itu. Karena sudah di luar batas kewajaran, mungkin saja mereka ingin menyingkirkan kita perlahan-lahan dengan membunuh rasa saling percaya kita,”
So, sore wa[6]...”
Air wajah Megan seketika berubah pucat, dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dan ia tahu itu adalah kemungkinan terburuk dari kasus pembunuhan ini. Megan hanya bisa terdiam dan terpaku. Memikirkan segala hal yang ada di benaknya. Terlalu banyak hal yang dipikirkannya dan membuatnya termakan oleh imajinasinya sendiri.
Melihat Megan yang hanya terpaku, Yukio jadi tersadar dengan segala ucapan yang telah diceritakannya. Raut wajah Yukio kembali melunak dan merilekskan posisi duduknya.
“Yah, walau aku tahu ini hanya hipotesisku saja, tidak ada bukti yang cukup memadai untuk membuktikan hipotesisku. Jadi ini belum tentu benar,”
Megan tetap terdiam. Keheningan mencekam menyelimuti mereka, membuat suasana semakin tegang.
“Me, megan?”
Megan mendadak berdiri dari tempat duduknya dengan wajah tertunduk. Seulas senyum aneh tersungging di wajahnya.
“Kau terlalu banyak mengetahui hal-hal. Aku memang salah membiarkanmu untuk sementara waktu karena aku pikir kau tidak akan berbahaya,”
“A, apa? Apa yang kau maksud?”
Dengan gerakan gesit, Megan mengaktifkan Signernya dan mengeluarkan pedangnya. Yukio tersentak kaget dengan reaksi aneh Megan. Dengan satu gerakan pasti, Megan menebas dada Yukio hingga dia terdorong ke belakang. Yukio berteriak kesakitan dan menahan aliran darahnya yang memancar melalui luka sabetan di dadanya.
“Kau, siapa kau?! Aku tahu kau bukan Megan. Aku sudah mengetahuinya dari awal kau duduk, tapi aku membiarkan kau karena aku ingin tahu apa tujuanmu. Tapi aku tak menyangka kau akan langsung menyerangku,”
“Hahaha! Aku juga sudah tahu kau menyadarinya. Tapi setelah menunjukkan wujud asliku, tak mungkin aku membiarkan kau tetap hidup,”
Kemudian, cahaya terang menyelimuti Megan palsu dan mengubah wujud Megan.
“Magic Skill : Transform, Undo!”
“Transform?! Itu kan sihir kelas atas yang hanya bisa digunakan sword dancer level 7 ke atas!”
Dengan tatapan tercengang, Yukio memperhatikan wujud Megan yang telah berubah menjadi sebuah sosok asing yang sama sekali tak Yukio kenal.
“Kau, siapa kau?”
“Siapa? Kau takkan tahu, dan takkan pernah tahu. Karena aku akan mengakhiri hidupmu sekarang!”
Perempuan asing itu melangkah dan sepersekian detik kemudian ia telah berada dekat, sangat dekat, dengan Yukio. Yukio tak punya celah untuk menghindar. Di tambah luka di dadanya masih terus mengalirkan darah segar.
Shimata[7]!”
Tapi kemudian, pedang perempuan asing yang diarahkan ke Yukio itu tiba-tiba terlempar dengan suara tangkisan yang nyaring. Pedang itu terlepas dari genggaman sang pemilik dan berdenting di atas lantai café. Yukio menunjukkan ekspresi kaget sekaligus leganya ketika melihat bahwa Megan lah yang melindunginya dari serangan perempuan asing itu. Dengan ekspresi yang datar, perempuan asing itu terdorong mundur dan berdiri tegak menghadap Megan yang melontarkan ekspresi marah.
“Ah, Megan Frost. Apa yang kau lakukan di sini? Ternyata perhitunganku salah. Kalau kau tidak buru-buru ke sini, mungkin yang akan kau lihat adalah mayat dari teman dekatmu ini,”
Rahang Megan menegang, tangannya menggenggam pedang dengan erat. Megan berdiri tegak dan mengarahkan pedangnya pada perempuan asing itu.
“Aku memang punya firasat buruk, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa firasatku akan tepat. Mari kita selesaikan ini,”
“Ah, tantangan yang menarik, tapi sayang sekali untuk sekarang ini aku tidak bisa melayanimu. Misiku adalah membunuh Yukio Shirota. Jika itu tidak bisa dilakukan, aku hanya perlu kembali,”
Megan hanya terpaku di tempatnya, mengeratkan pegangan pada pedangnya. Entah kenapa ia menjadi takut. Takut untuk menyerang, takut terbunuh karenanya. Dan yang paling ia takuti adalah kehilangan teman dekatnya karena ketidak becusan ia dalam bertarung. Keraguan menyelimutinya, mengakibatkan tubuhnya sedikit bergetar.
“Magic Skill : Teleport,”
Perempuan asing itu kemudian pergi dengan senyum kemenangan yang angkuh menghiasi wajahnya yang putih pucat.
Megan menurunkan pedangnya, dan menghentikan getaran di tubuhnya. Ia berbalik badan dan menyadari bahwa Yukio sudah tersungkur di lantai. Pendarahannya semakin memburuk, nafas Yukio tersengal-sengal karena kekurangan darah.
“Yukio! Bertahanlah!”
Megan duduk di sebelah Yukio dengan terburu-buru, menempelkan telapak tangannya pada dada Yukio.
“Magic Skill : Heal!”
Cahaya silau menyinari Megan dan Yukio. Megan berkonsentrasi penuh, mengumpulkan tenaga-tenaganya untuk menyempurnakan kemampuannya. Beberapa detik kemudian, Yukio sudah bisa bernafas dengan normal, luka di dadanya pun mulai menutup. Megan menghela napas lega. Lalu, Yukio membuka matanya.
“Yukio! Kau tidak apa-apa?” Megan menghentikan penyembuhan dan mendekatkan dirinya pada Yukio yang tengah berbaring di lantai café.
“Aku baik-baik saja, arigatou ne,” Yukio memaksakan senyum tipis untuk meyakinkan Megan bahwa ia bisa bertahan.
“Syukurlah, aku akan meneruskan penyembuhan sedikit lagi,”
“Tidak perlu, itu hanya akan menghabiskan staminamu,” Yukio berusaha duduk perlahan.
“Tapi, kau juga belum bisa duduk!” Protes Megan.
“Aku bisa, tenang saja, luka seperti ini tidak sebanding dengan waktu itu,”
Megan terdiam, mengerti maksud dari itu yang Yukio sebutkan.
“Nah, ayo sebaiknya kita pergi dari sini sebelum kita diserang lagi,”



[1] Tu, tunggu sebentar.
[2] Hebat.
[3] Terima kasih atas segalanya
[4] Sama-sama
[5] Sampai ketemu lagi
[6] I, itu...
[7] Celaka!