Rabu, 14 Agustus 2013

Sabergale Academy - BAB 1

Derap langkah ringan terdengar dari sepanjang lorong, cepat dan tergesa-gesa. Entah apa yang membuatnya begitu terburu-buru sehingga harus berlarian di sepanjang lorong yang panjang. Tapi dibalik langkah yang terdengar gelisah itu juga terdengar sedikit tawa bahagia yang tertahan. Seorang anak kecil berlari dengan bahagia, menuju sebuah ruangan di ujung lorong lantai atas. Tepat setelah mencapai tujuannya, ia berhenti sejenak untuk mengatur tempo nafasnya. Tanpa ragu, anak kecil itu memegang gagang pintu yang tingginya sama dengannya dan membuka pintu itu dengan satu gerakan cepat. Pintu terbuka lebar, cahaya lampu lorong menyinari ruangan yang ternyata gelap itu.
Onii-chan[1]!! Ohayou[2]!”
Anak kecil yang masih berdiri di ambang pintu, tersenyum bahagia seraya lari memasuki gelapnya ruangan. Ia melompat ke sebuah benda persegi besar, yang ternyata sebuah kasur. Kesal karena tak ada reaksi, anak kecil itu menarik selimut dari rangkulan seseorang yang tengah tertidur di dalamnya lalu mendekat ke wajahnya. Posisi tidurnya yang miring membuat anak kecil itu bisa langsung berhadapan dengan telinganya.
Onii-chan! Ayo bangun!”
Laki-laki yang daritadi dipanggil dengan Onii-chan itu tersentak dan bangun dari tidur lelapnya. Ia memutar kepalanya untuk melihat siapakah orang yang berani membangunkannya. Mendapati adiknya sedang tersenyum bahagia di atasnya, ia mengurungkan niat untuk mengamuk dan perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengacak-acak rambutnya lalu menguap.
Ohayou, Suzu,”
Anak kecil yang dipanggil Suzu itu tertawa riang karena telah berhasil membuat kakaknya bangun, sementara sang kakak hanya bisa tersenyum. Puas dengan hasil kerjanya, Suzu turun dari ranjang kakaknya dan berlari menuju pintu kamar. Tapi ia berhenti tepat di ambang pintu dan berbalik.
Onii-chan, sarapannya telah siap,”
“Ya, terima kasih, Suzu,”
Anak perempuan yang bernama Suzuriha itu segera keluar dengan nada senang. Sang kakak turun dari ranjangnya dan merenggangkan otot-otot kakunya. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat pantulan bayangannya di cermin. Ia tersenyum dan memiringkan sedikit kepalanya seperti sedang berpikir.
“Yah, saatnya memulai hari. Mari kita lihat apa yang seorang Kaito Kakihara bisa lakukan hari ini?”
Pemuda itu pun keluar kamar, menuruni tangga dan menyapa keluarganya.


Cuaca hari itu cukup bagus. Matahari bersinar terang dengan hembusan angin dingin yang menyejukkan. Awal musim gugur yang indah. Tak terlewatkan pohon momiji yang mulai memerah di seluruh penjuru kota. Kaito berjalan menyusuri jalan setapak menuju sekolahnya sekaligus menikmati suasa musim gugur yang selalu ia sukai. Daun-daun berguguran selama ia berjalan, menambah keindahan jalanan di musim gugur.
Tepat saat itu ia menoleh ke arah danau di bawah jalan. Di seberang sana, jauh dari tempatnya berdiri sekarang, ia sudah bisa melihat bangunan megah yang tak asing lagi bagi dirinya. Sekolah swasta ternama yang sangat elegan—tapi tak seorang pun yang pernah tahu apa yang ada di dalamnya.
Sabergale Academy.
Sekolah SMA bagi para pemilik uang, dan anak-anak kaya manja yang hanya membutuhkan fasilitas—setidaknya itulah rumor yang beredar di masyarakat. Sekolah itu sangat luas, dinding-dinding besar dan kokoh mengelilingi dan melindungi seluruh bangunan sekolah. Tidak heran jika rumor-rumor tak pantas cepat beredar di masyarakat meskipun mereka sama sekali belum pernah memasuki atau mendekati daerah itu. Dilihat dari manapun, sekolah itu tentu membuat iri murid sekolah lain yang hanya bisa duduk di atas bangku kayu, mengenakan seragam lusuh dengan fasilitas sekolah yang seadanya. Tapi tidak ada yang berani menentang keberadaan sekolah itu, karena, lagi-lagi rumor mengatakan, sekolah itu memiliki sebuah rahasia yang tidak bisa diketahui masyarakat luas kecuali jika menjadi salah satu bagian dari mereka. Tidak ada informasi sedikit pun yang keluar dari Sabergale Academy, terkunci dan terkubur dalam-dalam.
“Kakihara-kun!”
Seketika, lamunan Kaito buyar dan memaksanya untuk melihat ke arah sumber suara.
“Mizuko-san?”
Mizuko berlari kecil dan melambaikan tangannya pada Kaito. Mizuko adalah teman sekelas Kaito. Dia seorang yang ceria dan perhatian. Memiliki tubuh langsing dan rambut panjang berwarna hitam yang selalu ia biarkan terurai. Poninya berterbangan selama ia berlari kecil. Sekarang mata cokelatnya yang selalu memancarkan rasa peduli sedang menatapnya dengan penuh keceriaan.
Ohayou,”
“Oh, ohayou,”
“Kenapa? Sepertinya aku melihat kau melamun, melihat ke arah Sabergale Academy?”
Iie, betsu ni[3],”
“Jangan bilang kau mulai tertarik dengan sekolah itu? Oh atau kau mendapat informasi mengenai sekolah itu?!”
“Jangan bercanda, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti itu. Yang kita dengar cuma rumor,”
“Yah, tapi tidak ada salahnya untuk mencari tahu kebenaran, kan?”
“Sayangnya aku tidak cukup tertarik untuk mencari tahu hal sekecil apapun mengenai sekolah itu. Bagiku duduk di atas meja kayu dan mengenakan seragam lusuh sudah cukup,”
“Benarkah?”
“Ya,”
Namun Kaito tahu itu tidak sepenuhnya benar. Ia memang sedikit, walau hanya sedikit, penasaran dengan Sabergale Academy. Siapapun akan terpesona dengan bangunan megah itu walau hanya melihatnya dari luar. Bagi mereka yang orang biasa, SGA adalah tempat para orang elit, orang terpilih. Itulah pandangan mereka, sama seperti Kaito. Tapi jauh di dalam hatinya, ia ingin tahu apa yang dirasakan para murid SGA. Apakah mereka memang seorang yang elit dengan kehidupan yang glamour. Atau sebaliknya, mereka hanya orang-orang biasa yang bersekolah seperti biasa di sekolah yang berbeda. Pertanyaan itu memang tak pernah terjawab berapa kalipun ia memikirkannya.

Kaito menarik tangannya ke atas, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia melihat pemandangan kelasnya yang hampir sepi. Semua murid sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing, tapi Kaito tidak beranjak dari tempat duduknya untuk pulang. Ia tidak tahu kenapa ia tidak segera pulang, ia hanya ingin berada di sekolah lebih lama sedikit. Kaito memangku wajahnya di atas tangan kanannya dan melirik ke arah jendela yang mengarah ke gerbang sekolah. Sudah tidak ada murid yang lalu lalang keluar sekolah, sepertinya tinggal ia yang masih ada di sekolah. Saat pikiran untuk pulang terlintas, ia melihat seorang siswi sekolahnya berlari, bukan lari yang disengaja karena olah raga atau sejenisnya. Tapi lari yang ketakutan. Seperti dikejar sesuatu, tapi apa? Ia tak bisa melihat apa yang mengejar siswi itu. Kaito mendekatkan kepalanya ke jendela untuk melihatnya lebih jelas, dan menyipitkan matanya untuk mengubah fokus matanya. Terlihat, ia bisa melihat sesosok manusia berjubah merah. Naluri membuatnya tersentak kaget saat melihat sosok berjubah merah itu membawa sebilah pedang.
“Oi, oi, cosplayer macam apa dia. Ia seperti membawa pedang sungguhan—“
Belum selesai Kaito berbicara, si jubah merah tanpa ragu menyerang siswi sekolahnya dengan satu ayunan. Ia tak bisa menghentikan mulutnya untuk berteriak, dan spontan berlari turun ke bawah untuk menghentikan orang aneh berpedang itu. Otak Kaito terus berputar memikirkan berbagai cara untuk menghentikan orang berjubah itu. Ia tahu bahwa orang amatir yang bertangan kosong tak akan pernah menang melawan pria berpedang yang terlihat sangat terlatih.
“Yang benar saja, mana ada seorang cosplayer menyerang orang lain?!”
Kaito menuruni tangga dengan tergesa-gesa hingga berkali-kali hampir terpeleset. Memang merepotkan memiliki kelas yang berada di lantai tiga. Inilah yang selalu dikeluhkan Kaito tentang sistem kelas di sekolah ini. Walaupun ia tahu bahwa masih ada lagi murid yang di lantai empat atau lima.
Pintu sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kaito mempercepat langkahnya meskipun air keringatnya sudah mulai menetes. Ia mendorong pintu sekolah dengan kasar dan memandang ke luar sekolah. Sekarang ia sudah tidak melihat orang berjubah merah itu. Tapi ia terus berlari, mencari-cari dimana mungkin mereka berada. Bagian belakang sekolah yang menjadi tempat parkir sepeda adalah tempat yang sepi, mungkin mereka di sana, pikir Kaito. Entah kenapa ia terus berlari, meskipun ia bisa merasakan kakinya sudah meronta-ronta untuk berhenti. Tapi ia yakin bahwa yang tadi ia lihat bukan halusinasi, dan ia yakin perempuan itu dalam bahaya. Tidak salah lagi, lari semacam itu bukan sesuatu yang bisa diperankan dengan mudah. Dan ia yakin perempuan itu tidak sedang berakting.
Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain terus berlari dan berusaha menemukan perempuan itu. Seluruh penjuru sekolah telah ia kunjungi, tapi hasilnya nihil. Ia tidak bisa menemukan perempuan itu dimana pun. Perlahan, langkahnya memelan dan berhenti. Tubuhnya sudah basah dengan keringat, dan ia tidak menemukan apa pun. Kaito bersandar pada sebuah dinding dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Nafasnya tak teratur karena terlalu memaksakan untuk berlari. Jantungnya juga bekerja terlalu berat sehingga berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Aku yakin... aku benar-benar melihatnya. Aku tidak berhalusinasi,”
Kaito yang merasa kecewa bergumam pada diri sendiri. Setelah tempo nafasnya kembali seperti semula, ia menghela nafas dan berusaha melupakannya. Dengan berat hati ia berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya, untuk mengambil tas dan pulang. Saat melewati tikungan, Kaito ditabrak sesuatu yang keras. Keseimbangannya runtuh hingga ia jatuh bersamaan dengan yang menabraknya.
“Aw! Apa-apaan ini?!”
Kaito berteriak dan mengaduh kesakitan. Tapi setelah ia perhatikan lagi, ternyata yang menabraknya adalah seorang siswi perempuan yang tadi ia lihat dari lantai atas.
Anata! Daijoubu ka?[4]” Tanya Kaito dengan nada was-was.
A, atashi wa.. wakaranai. Tasukete! Tasukete kudasai![5]
Pinta siswi itu dengan nada ketakutan. Kaito sadar bahwa yang ia maksud adalah orang aneh berjubah merah yang membawa pedang. Kaito berdiri dan memutar kepalanya. Sudut matanya menangkap sesosok manusia berjubah merah tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan hati-hati Kaito berhadapan dengannya. Si jubah merah berjalan santai ke arah Kaito. Sekilas, pedang yang digenggamnya memantulkan cahaya matahari yang tipis selama ia berjalan. Sementara perempuan tadi sudah pergi ke tempat aman.
“Hei, kau cosplayer, apa yang kau lakukan? Membawa pedang sungguhan ke sekolah dan menyerang seorang siswi. Itu bukan tindakan yang pantas seorang cosplayer lakukan,”
Orang itu berhenti berjalan di jarak dua meter dari Kaito dan hanya terdiam. Kaito tidak bisa menebak jenis kelamin dari lawannya atau melihat seperti apa wajah dan rambutnya. Bagian yang terlihat hanya hidung dan mulut, yang menyunggingkan sebuah senyuman—yang menyiratkan bahwa Kaito sedang dalam bahaya. Jubah merahnya mencegah Kaito untuk menganalisis lawannya. Kaito menjadi gusar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia tahu kalau ia tidak segera mencari jalan maka dialah yang akan dihabisi.
Si jubah merah mengarahkan pedangnya ke Kaito, memasang kuda-kuda dan siap menyerang. Kaito bergetar, ia berkeringat dingin. Tanpa sadar ia menyeret mundur sebelah kakinya.
Seperti tak mau buang waktu lagi, si jubah merah itu menyerang dan mengarahkan pedangnya ke Kaito. Kaito serentak menghindar dan berlari. Ia terus mencoba menghindar karena ia tidak punya apapun untuk melawan. Menghindar saja tak akan menghasilkan apa-apa. Hanya mengulur waktu hingga dirinya kehabisan tenaga dan habislah ia. Ia tahu benar akan hal itu. Dan kemudian,
Crat.
Pedang si jubah merah menyayat lengan kanan Kaito. Darah segar mengucur dan membasahi seragam putih Kaito. Kepanikan dan ketakutan mendadak melanda emosi Kaito. Ia yang tak pernah terlibat dalam pertarungan apapun kini harus bertarung dengan seseorang yang baru ia temui, dengan taruhan nyawa. Si jubah merah tak berhenti mengincarnya. Yang bisa dilakukan Kaito hanya berlari dan menghindar.
Crat.
Lagi-lagi pedang itu menggores bagian tubuh Kaito. Ini buruk. Jika ini terus berlangsung, Kaito bisa benar-benar mati.
Kaito terdesak. Ia mengambil jalan yang salah dan menemukan jalan buntu. Entah kenapa ada bagian sekolahnya yang memiliki jalan buntu.
“Sial, apakah ini akhir dariku?”
Kaito menyerah.
Ia tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Hanya bisa menyaksikan orang yang akan mengeksekusinya. Dan melihat benar-benar detik-detik sebelum ia mati.
Akiramenai[6]!
Deg. Sebuah suara, yang entah darimana, mengisi pikiran putus asa Kaito.
Siapa? Pikirnya. Di saat yang bersamaan si jubah merah melompat dan mengarahkan pedangnya pada Kaito, siap merobek tubuh Kaito untuk mengakhiri hidupnya. Tapi seperti mendapatkan semangat baru, Kaito menepis jauh-jauh pikiran pasrahnya terhadap kematian. Ia belum mau mati sekarang, tidak sebelum ia mengetahui siapa lawannya dan apa tujuannya. Ia tidak akan semudah itu menyerahkan nyawanya yang berharga pada orang yang baru saja ia temui.
“Aku tidak akan mati, kau sialan!”
Teriakan yang penuh energi, membangkitkan kemampuan khusus Kaito yang sudah lama terkubur di dalam dirinya. Secara refleks, Kaito mengambil kuda-kuda dan tanpa ragu menarik keluar sesuatu dari telapak tangannya. Sinar terang yang menyilaukan menerangi sekeliling Kaito dan si jubah merah. Si jubah merah terpukul mundur dan berhenti.
Pemandangan yang mengherankan dan mengejutkan terlihat. Kaito berdiri dengan sebilah pedang putih yang memiliki ukiran di bilahnya. Kaito mengangkat pedangnya dan melihatnya sekilas, tanpa ada rasa heran atau terkejut sama sekali.
Tatapan Kaito lurus dan tajam. Mengarah pada si jubah merah tanpa ragu. Dengan satu langkah kilat, Kaito melompat ke arah si jubah merah. Perubahan bentuk mulut si jubah merah menggambarkan ekspresi terkejut darinya dan dengan spontan menangkis pedang Kaito dengan pedangnya. Mereka beradu pedang dengan cepat. Kecepatan yang luar biasa. Terlihat jelas bahwa si jubah merah terdesak dengan serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Kaito. Ini hal yang mengagetkan. Seorang Kaito yang tidak pernah memegang pedang sebelumnya, sekarang malah bertarung melawan orang asing dengan menggunakan pedang.
Adu pedang yang sengit berlangsung cukup lama dan seru. Tak ada satu pun dari mereka berdua yang terlihat mulai menyerah. Tapi dilihat secara kasat mata, Kaito memang unggul dengan semangatnya yang membara. Hingga akhirnya,
Trang.
Pedang si jubah merah terlempar. Dengan cepat Kaito menghalangi leher si jubah merah dengan pedangnya. Seperti hendak mengakhiri nyawa si jubah merah.
“Katakan, kenapa kau ada di sini? Untuk apa kau menyerang perempuan tadi?”
Si jubah merah hanya terdiam. Kebisuan membuat Kaito menjadi was-was. Otak Kaito berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi jika si jubah merah terdiam. Bisa saja si jubah merah sedang memikirkan serangan balik untuknya.
Tapi tak lama, sosok si jubah merah menghilang bersamaan dengan pedangnya yang terlempar. Si jubah merah seakan berubah menjadi debu-debu berkilau tipis yang kemudian hilang tertiup angin. Kaito terkejut dan menurunkan pedangnya. Ia berdiri mematung dan berusaha mencerna apa saja yang terjadi barusan.
“Kerja bagus, Kaito-kun,”
Kaito terkejut dan memalingkan wajahnya ke arah suara. Ia dapat melihat sesosok manusia yang sangat ia kenali.
“Mizuko-san? Apa, apa yang kau lakukan di sini?”
“Bagaimana? Pedangmu bagus kan?”
“Ap, apa? Aku tidak mengerti maksudmu,” Kaito berusaha mencerna dan menangkap maksud dari Mizuko.
“Kau adalah seorang sword dancer,”
Mizuko menunjuk ke arah pedang yang sedari tadi digenggam Kaito.
“I, ini...?”
Ia memandangi tangannya yang masih menggenggam pedang. Kaito terlihat kebingungan. Mizuko hanya terdiam dan menghela nafas.
“Selamat, Kaito-kun. Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
“Eh....?!”
“Sekarang kau akan mengetahui kebenaran. Sabergale Academy adalah sekolah khusus anak-anak yang memiliki kemampuan sword dance. Sama seperti kau, mereka bisa mengeluarkan pedang mereka dari dalam tubuh,”
“Eh... Ah, apa... maksudmu? Aku tidak dapat mencerna perkataanmu. Apa itu sword dance?” Kaito semakin bingung, bukan karena bahasa Mizuki yang salah, tapi karena memang yang ia bahas adalah topik yang sama sekali tidak pernah Kaito dengar.
Sword dance adalah teknik untuk mengeluarkan pedang dari dalam tubuhmu. Seperti yang barusan kau lakukan. Yang tadi adalah Sword Slayer. Mereka kelompok yang baru-baru ini muncul di sekitar Sabergale Academy. Anggota dan pemimpinnya belum jelas. Markas mereka pun belum diketahui. Yang diketahui hanya tujuan mereka, yaitu menghabisi semua sword dancer. Mulai dari bibitnya hingga yang master,”
Kaito tertegun. Ia mulai berfikir, berusaha mencerna semua ketidak masuk akalan ini. Jika ia bisa tertawa, mungkin ia akan melakukannya sekarang juga. Karena yang ia alami memang sama sekali tidak masuk akal. Seperti ibu peri yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan menawarkan tiga permintaan untuknya. Tapi kalau yang disebut sebagai Sword Slayer memang memiliki tujuan untuk menghabisi sword dancer dari bibitnya berarti sedari tadi si jubah merah itu memang mengincarnya! Bukan anak perempuan yang telah ia tolong. Itu hanyalah pemancing bagi dirinya untuk menunjukkan diri. Karena itu ia tersenyum ketika berhadapan dengan Kaito, seolah-olah umpan yang ia buat telah berhasil memancing sebuah emas yang ia incar.
Tapi sesuatu mengganjal di pikiran Kaito.
“Mizuko, kenapa kau tahu tentang Sabergale Academy? Tidak ada seorang masyarakat biasa yang mengetahui informasi mengenai Sabergale secara detil,”
Kaito memulai interogasinya.
“Ah, ternyata kau sadar juga. Jadi kau memang tak seburuk penampilanmu,”
“Apa?!”
“Bercanda, yah apa boleh buat. Aku juga tidak bisa terus menyembunyikannya. Toh lama kelamaan kau juga akan tahu,”
Kemudian pusaran angin mengelilingi Mizuko. Angin yang cukup kencang untuk membuat debu dan dedaunan terbang menjauh dari pusaran yang dihasilkan Mizuko. Tak lama, angin itu mereda. Pemandangan yang asing dan mengejutkan. Mizuko telah berubah menjadi seorang perempuan cantik yang sangat berbeda dengan yang ia kenal. Meskipun gaya rambutnya tidak berubah, tapi ia memiliki rambut yang berwarna putih keunguan. Ia tidak lagi mengenakan seragam sekolahnya, tapi menggunakan seragam sekolah lain. Seifuku[7] yang selalu membuat semua orang iri sehingga melontarkan tatapan sinis pada pemakainya. Seifuku dari Sabergale Academy. Bola matanya berwarna hijau toska, dipadukan dengan garis alis yang tegas. Menggambarkan dirinya yang kuat.
“Mungkin ini pertama kali kau melihatku seperti ini. Sepertinya aku harus mengulanginya ya. Namaku Megan Frost. Dan aku adalah seorang sword dancer. Salam kenal,” Katanya tersenyum, menghiraukan Kaito yang masih terlarut dalam perubahan Mizuko.
“Ja, jadi sebenarnya selama ini, kau murid Sabergale Academy?” Tanya Kaito pada akhirnya.
“Benar, aku dikirim untuk mencari dan melindungi bibit-bibit sword dancer yang ada di sekolah ini. Tapi sepertinya hanya kau yang dimaksud,”
“Melindungi? Kau tahu aku hampir mati tadi,” Jawab Kaito dengan ketus.
Gomen, gomen[8], aku sengaja membiarkanmu. Karena aku melihat bahwa telurmu sudah matang dan siap dikeluarkan. Maka aku membiarkan kau mengeluarkannya dengan tenagamu sendiri,”
“Mengeluarkan? Maksudmu pedang ini?”
Tanya Kaito, meskipun ia tidak yakin ingin mendengar penjelasannya.
“Benar, setiap sword dancer menyimpan sebilah pedang yang ada dalam dirinya. Jika pedang itu sudah siap untuk kau gunakan, maka dengan sendirinya ia akan keluar. Tentu saja pengeluaran pedang itu membutuhkan perangsang. Karena itu aku membiarkanmu tadi. Selain itu, hanya orang khusus yang disebut sword dancer lah yang dapat mengeluarkan pedang dari dalam dirinya,”
Kaito terdiam. Terlalu banyak hal baru yang ia ketahui dalam waktu yang singkat. Ini membuatnya pusing dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Walaupun ia tahu berusaha seperti apapun ia tak akan bisa terbangun. Karena berdirinya ia di tempat itu menandakan bahwa ini  adalah nyata.
“Aku akan mengurusi kepindahanmu dari sekolah. Kau bersiap-siaplah dan jelaskan apa yang kau perlu jelaskan kepada keluargamu. Mulai besok kau akan tinggal di Sabergale Academy. Aku tunggu di halte bus dekat rumahmu,”
Mizuko, atau yang sekarang bernama Megan, berbalik badan dan pergi meninggalkan Kaito yang masih berdiri mengatung, terhanyut pada yang dipikirkan olehnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Sekarang ia bukan lagi manusia biasa. Ia adalah sword dancer. Orang yang memiliki pedang dan mempunyai kemampuan sword dance.
Kaito menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit sore yang mulai menggelap. Seolah-olah mencari jawaban dari semua ketidakmasuk akalan ini. Dan ia harus berhadapan dengan fakta bahwa kehidupan normalnya akan berubah. Bahwa ia akan meniggalkan garis takdirnya dan menyatu dengan garis baru yang tidak ia kenal. Tapi ia tidak ingin memusingkan hal itu sekarang. Kaito menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran anehnya dan mengembalikkan pedang, yang sedari tadi masih ia genggam, ke dalam tubuhnya. Pedang itu perlahan menghilang bagai debu dan menyatu kembali dengan tubuhnya.
Tidak masuk akal. Semuanya tidak bisa dijelaskan dengan akal. Tapi ini nyata. Kaito harus berhadapan dengan fakta baru dan mungkin nanti ia akan menemukan lebih banyak hal tidak masuk akal yang merupakan fakta tersembunyi di kehidupan barunya nanti.



[1] Kakak
[2] Selamat Pagi
[3] Tidak, bukan apa-apa.
[4] Kau! Kau baik-baik saja?
[5] A, aku tidak tahu. Tolong! Tolong aku!
[6] Jangan menyerah!
[7] Seragam sekolah
[8] Maaf, maaf,