Derap langkah
ringan terdengar dari sepanjang lorong, cepat dan tergesa-gesa. Entah apa yang
membuatnya begitu terburu-buru sehingga harus berlarian di sepanjang lorong
yang panjang. Tapi dibalik langkah yang terdengar gelisah itu juga terdengar
sedikit tawa bahagia yang tertahan. Seorang anak kecil berlari dengan bahagia,
menuju sebuah ruangan di ujung lorong lantai atas. Tepat setelah mencapai
tujuannya, ia berhenti sejenak untuk mengatur tempo nafasnya. Tanpa ragu, anak
kecil itu memegang gagang pintu yang tingginya sama dengannya dan membuka pintu
itu dengan satu gerakan cepat. Pintu terbuka lebar, cahaya lampu lorong
menyinari ruangan yang ternyata gelap itu.
Anak kecil yang
masih berdiri di ambang pintu, tersenyum bahagia seraya lari memasuki gelapnya
ruangan. Ia melompat ke sebuah benda persegi besar, yang ternyata sebuah kasur.
Kesal karena tak ada reaksi, anak kecil itu menarik selimut dari rangkulan
seseorang yang tengah tertidur di dalamnya lalu mendekat ke wajahnya. Posisi
tidurnya yang miring membuat anak kecil itu bisa langsung berhadapan dengan
telinganya.
“Onii-chan!
Ayo bangun!”
Laki-laki yang
daritadi dipanggil dengan Onii-chan itu tersentak dan bangun dari tidur
lelapnya. Ia memutar kepalanya untuk melihat siapakah orang yang berani
membangunkannya. Mendapati adiknya sedang tersenyum bahagia di atasnya, ia mengurungkan
niat untuk mengamuk dan perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia
mengacak-acak rambutnya lalu menguap.
“Ohayou,
Suzu,”
Anak kecil yang
dipanggil Suzu itu tertawa riang karena telah berhasil membuat kakaknya bangun,
sementara sang kakak hanya bisa tersenyum. Puas dengan hasil kerjanya, Suzu
turun dari ranjang kakaknya dan berlari menuju pintu kamar. Tapi ia berhenti
tepat di ambang pintu dan berbalik.
“Onii-chan,
sarapannya telah siap,”
“Ya, terima kasih,
Suzu,”
Anak perempuan
yang bernama Suzuriha itu segera keluar dengan nada senang. Sang kakak turun
dari ranjangnya dan merenggangkan otot-otot kakunya. Dari tempatnya berdiri
sekarang, ia bisa melihat pantulan bayangannya di cermin. Ia tersenyum dan memiringkan
sedikit kepalanya seperti sedang berpikir.
“Yah, saatnya
memulai hari. Mari kita lihat apa yang seorang Kaito Kakihara bisa lakukan hari
ini?”
Pemuda itu pun
keluar kamar, menuruni tangga dan menyapa keluarganya.
Cuaca hari itu
cukup bagus. Matahari bersinar terang dengan hembusan angin dingin yang
menyejukkan. Awal musim gugur yang indah. Tak terlewatkan pohon momiji
yang mulai memerah di seluruh penjuru kota. Kaito berjalan menyusuri jalan
setapak menuju sekolahnya sekaligus menikmati suasa musim gugur yang selalu ia
sukai. Daun-daun berguguran selama ia berjalan, menambah keindahan jalanan di
musim gugur.
Tepat saat itu ia
menoleh ke arah danau di bawah jalan. Di seberang sana, jauh dari tempatnya
berdiri sekarang, ia sudah bisa melihat bangunan megah yang tak asing lagi bagi
dirinya. Sekolah swasta ternama yang sangat elegan—tapi tak seorang pun yang
pernah tahu apa yang ada di dalamnya.
Sabergale Academy.
Sekolah SMA bagi
para pemilik uang, dan anak-anak kaya manja yang hanya membutuhkan fasilitas—setidaknya
itulah rumor yang beredar di masyarakat. Sekolah itu sangat luas,
dinding-dinding besar dan kokoh mengelilingi dan melindungi seluruh bangunan
sekolah. Tidak heran jika rumor-rumor tak pantas cepat beredar di masyarakat
meskipun mereka sama sekali belum pernah memasuki atau mendekati daerah itu. Dilihat
dari manapun, sekolah itu tentu membuat iri murid sekolah lain yang hanya bisa
duduk di atas bangku kayu, mengenakan seragam lusuh dengan fasilitas sekolah
yang seadanya. Tapi tidak ada yang berani menentang keberadaan sekolah itu,
karena, lagi-lagi rumor mengatakan, sekolah itu memiliki sebuah rahasia yang
tidak bisa diketahui masyarakat luas kecuali jika menjadi salah satu bagian
dari mereka. Tidak ada informasi sedikit pun yang keluar dari Sabergale
Academy, terkunci dan terkubur dalam-dalam.
“Kakihara-kun!”
Seketika, lamunan
Kaito buyar dan memaksanya untuk melihat ke arah sumber suara.
“Mizuko-san?”
Mizuko berlari
kecil dan melambaikan tangannya pada Kaito. Mizuko adalah teman sekelas Kaito.
Dia seorang yang ceria dan perhatian. Memiliki tubuh langsing dan rambut
panjang berwarna hitam yang selalu ia biarkan terurai. Poninya berterbangan
selama ia berlari kecil. Sekarang mata cokelatnya yang selalu memancarkan rasa
peduli sedang menatapnya dengan penuh keceriaan.
“Ohayou,”
“Oh, ohayou,”
“Kenapa?
Sepertinya aku melihat kau melamun, melihat ke arah Sabergale Academy?”
“Iie, betsu ni[3],”
“Jangan bilang kau
mulai tertarik dengan sekolah itu? Oh atau kau mendapat informasi mengenai
sekolah itu?!”
“Jangan bercanda, aku
sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti itu. Yang kita dengar cuma rumor,”
“Yah, tapi tidak
ada salahnya untuk mencari tahu kebenaran, kan?”
“Sayangnya aku
tidak cukup tertarik untuk mencari tahu hal sekecil apapun mengenai sekolah
itu. Bagiku duduk di atas meja kayu dan mengenakan seragam lusuh sudah cukup,”
“Benarkah?”
“Ya,”
Namun Kaito tahu
itu tidak sepenuhnya benar. Ia memang sedikit, walau hanya sedikit, penasaran
dengan Sabergale Academy. Siapapun akan terpesona dengan bangunan megah itu
walau hanya melihatnya dari luar. Bagi mereka yang orang biasa, SGA adalah
tempat para orang elit, orang terpilih. Itulah pandangan mereka, sama seperti
Kaito. Tapi jauh di dalam hatinya, ia ingin tahu apa yang dirasakan para murid
SGA. Apakah mereka memang seorang yang elit dengan kehidupan yang glamour.
Atau sebaliknya, mereka hanya orang-orang biasa yang bersekolah seperti biasa
di sekolah yang berbeda. Pertanyaan itu memang tak pernah terjawab berapa
kalipun ia memikirkannya.
Kaito menarik
tangannya ke atas, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia melihat
pemandangan kelasnya yang hampir sepi. Semua murid sudah hampir pulang ke
rumahnya masing-masing, tapi Kaito tidak beranjak dari tempat duduknya untuk
pulang. Ia tidak tahu kenapa ia tidak segera pulang, ia hanya ingin berada di
sekolah lebih lama sedikit. Kaito memangku wajahnya di atas tangan kanannya dan
melirik ke arah jendela yang mengarah ke gerbang sekolah. Sudah tidak ada murid
yang lalu lalang keluar sekolah, sepertinya tinggal ia yang masih ada di
sekolah. Saat pikiran untuk pulang terlintas, ia melihat seorang siswi
sekolahnya berlari, bukan lari yang disengaja karena olah raga atau sejenisnya.
Tapi lari yang ketakutan. Seperti dikejar sesuatu, tapi apa? Ia tak bisa
melihat apa yang mengejar siswi itu. Kaito mendekatkan kepalanya ke jendela
untuk melihatnya lebih jelas, dan menyipitkan matanya untuk mengubah fokus
matanya. Terlihat, ia bisa melihat sesosok manusia berjubah merah. Naluri
membuatnya tersentak kaget saat melihat sosok berjubah merah itu membawa
sebilah pedang.
“Oi, oi, cosplayer
macam apa dia. Ia seperti membawa pedang sungguhan—“
Belum selesai
Kaito berbicara, si jubah merah tanpa ragu menyerang siswi sekolahnya dengan
satu ayunan. Ia tak bisa menghentikan mulutnya untuk berteriak, dan spontan berlari
turun ke bawah untuk menghentikan orang aneh berpedang itu. Otak Kaito terus
berputar memikirkan berbagai cara untuk menghentikan orang berjubah itu. Ia
tahu bahwa orang amatir yang bertangan kosong tak akan pernah menang melawan
pria berpedang yang terlihat sangat terlatih.
“Yang benar saja,
mana ada seorang cosplayer menyerang orang lain?!”
Kaito menuruni
tangga dengan tergesa-gesa hingga berkali-kali hampir terpeleset. Memang
merepotkan memiliki kelas yang berada di lantai tiga. Inilah yang selalu
dikeluhkan Kaito tentang sistem kelas di sekolah ini. Walaupun ia tahu bahwa
masih ada lagi murid yang di lantai empat atau lima.
Pintu sekolah
mulai terlihat dari kejauhan, Kaito mempercepat langkahnya meskipun air
keringatnya sudah mulai menetes. Ia mendorong pintu sekolah dengan kasar dan
memandang ke luar sekolah. Sekarang ia sudah tidak melihat orang berjubah merah
itu. Tapi ia terus berlari, mencari-cari dimana mungkin mereka berada. Bagian
belakang sekolah yang menjadi tempat parkir sepeda adalah tempat yang sepi,
mungkin mereka di sana, pikir Kaito. Entah kenapa ia terus berlari, meskipun
ia bisa merasakan kakinya sudah meronta-ronta untuk berhenti. Tapi ia yakin
bahwa yang tadi ia lihat bukan halusinasi, dan ia yakin perempuan itu dalam
bahaya. Tidak salah lagi, lari semacam itu bukan sesuatu yang bisa diperankan
dengan mudah. Dan ia yakin perempuan itu tidak sedang berakting.
Tak ada yang bisa
ia lakukan lagi selain terus berlari dan berusaha menemukan perempuan itu.
Seluruh penjuru sekolah telah ia kunjungi, tapi hasilnya nihil. Ia tidak bisa
menemukan perempuan itu dimana pun. Perlahan, langkahnya memelan dan berhenti.
Tubuhnya sudah basah dengan keringat, dan ia tidak menemukan apa pun. Kaito bersandar
pada sebuah dinding dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Nafasnya tak teratur
karena terlalu memaksakan untuk berlari. Jantungnya juga bekerja terlalu berat
sehingga berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Aku yakin... aku
benar-benar melihatnya. Aku tidak berhalusinasi,”
Kaito yang merasa
kecewa bergumam pada diri sendiri. Setelah tempo nafasnya kembali seperti
semula, ia menghela nafas dan berusaha melupakannya. Dengan berat hati ia
berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya, untuk mengambil tas dan pulang. Saat
melewati tikungan, Kaito ditabrak sesuatu yang keras. Keseimbangannya runtuh
hingga ia jatuh bersamaan dengan yang menabraknya.
“Aw! Apa-apaan
ini?!”
Kaito berteriak
dan mengaduh kesakitan. Tapi setelah ia perhatikan lagi, ternyata yang
menabraknya adalah seorang siswi perempuan yang tadi ia lihat dari lantai atas.
“Anata! Daijoubu
ka?[4]”
Tanya Kaito dengan nada was-was.
“A, atashi wa..
wakaranai. Tasukete! Tasukete kudasai![5]”
Pinta siswi itu
dengan nada ketakutan. Kaito sadar bahwa yang ia maksud adalah orang aneh
berjubah merah yang membawa pedang. Kaito berdiri dan memutar kepalanya. Sudut
matanya menangkap sesosok manusia berjubah merah tak jauh dari tempatnya
berdiri. Dengan hati-hati Kaito berhadapan dengannya. Si jubah merah berjalan
santai ke arah Kaito. Sekilas, pedang yang digenggamnya memantulkan cahaya
matahari yang tipis selama ia berjalan. Sementara perempuan tadi sudah pergi ke
tempat aman.
“Hei, kau
cosplayer, apa yang kau lakukan? Membawa pedang sungguhan ke sekolah dan
menyerang seorang siswi. Itu bukan tindakan yang pantas seorang cosplayer
lakukan,”
Orang itu berhenti
berjalan di jarak dua meter dari Kaito dan hanya terdiam. Kaito tidak bisa
menebak jenis kelamin dari lawannya atau melihat seperti apa wajah dan
rambutnya. Bagian yang terlihat hanya hidung dan mulut, yang menyunggingkan
sebuah senyuman—yang menyiratkan bahwa Kaito sedang dalam bahaya. Jubah
merahnya mencegah Kaito untuk menganalisis lawannya. Kaito menjadi gusar. Ia
tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia tahu kalau ia tidak segera mencari
jalan maka dialah yang akan dihabisi.
Si jubah merah
mengarahkan pedangnya ke Kaito, memasang kuda-kuda dan siap menyerang. Kaito
bergetar, ia berkeringat dingin. Tanpa sadar ia menyeret mundur sebelah
kakinya.
Seperti tak mau
buang waktu lagi, si jubah merah itu menyerang dan mengarahkan pedangnya ke
Kaito. Kaito serentak menghindar dan berlari. Ia terus mencoba menghindar
karena ia tidak punya apapun untuk melawan. Menghindar saja tak akan menghasilkan
apa-apa. Hanya mengulur waktu hingga dirinya kehabisan tenaga dan habislah ia.
Ia tahu benar akan hal itu. Dan kemudian,
Crat.
Pedang si jubah
merah menyayat lengan kanan Kaito. Darah segar mengucur dan membasahi seragam
putih Kaito. Kepanikan dan ketakutan mendadak melanda emosi Kaito. Ia yang tak
pernah terlibat dalam pertarungan apapun kini harus bertarung dengan seseorang
yang baru ia temui, dengan taruhan nyawa. Si jubah merah tak berhenti
mengincarnya. Yang bisa dilakukan Kaito hanya berlari dan menghindar.
Crat.
Lagi-lagi pedang
itu menggores bagian tubuh Kaito. Ini buruk. Jika ini terus berlangsung, Kaito
bisa benar-benar mati.
Kaito terdesak. Ia
mengambil jalan yang salah dan menemukan jalan buntu. Entah kenapa ada bagian
sekolahnya yang memiliki jalan buntu.
“Sial, apakah ini
akhir dariku?”
Kaito menyerah.
Ia tidak bisa
apa-apa lagi sekarang. Hanya bisa menyaksikan orang yang akan mengeksekusinya.
Dan melihat benar-benar detik-detik sebelum ia mati.
Akiramenai[6]!
Deg. Sebuah suara,
yang entah darimana, mengisi pikiran putus asa Kaito.
Siapa? Pikirnya. Di
saat yang bersamaan si jubah merah melompat dan mengarahkan pedangnya pada
Kaito, siap merobek tubuh Kaito untuk mengakhiri hidupnya. Tapi seperti
mendapatkan semangat baru, Kaito menepis jauh-jauh pikiran pasrahnya terhadap
kematian. Ia belum mau mati sekarang, tidak sebelum ia mengetahui siapa
lawannya dan apa tujuannya. Ia tidak akan semudah itu menyerahkan nyawanya yang
berharga pada orang yang baru saja ia temui.
“Aku tidak akan
mati, kau sialan!”
Teriakan yang
penuh energi, membangkitkan kemampuan khusus Kaito yang sudah lama terkubur di
dalam dirinya. Secara refleks, Kaito mengambil kuda-kuda dan tanpa ragu menarik
keluar sesuatu dari telapak tangannya. Sinar terang yang menyilaukan menerangi
sekeliling Kaito dan si jubah merah. Si jubah merah terpukul mundur dan
berhenti.
Pemandangan yang
mengherankan dan mengejutkan terlihat. Kaito berdiri dengan sebilah pedang
putih yang memiliki ukiran di bilahnya. Kaito mengangkat pedangnya dan
melihatnya sekilas, tanpa ada rasa heran atau terkejut sama sekali.
Tatapan Kaito
lurus dan tajam. Mengarah pada si jubah merah tanpa ragu. Dengan satu langkah
kilat, Kaito melompat ke arah si jubah merah. Perubahan bentuk mulut si jubah
merah menggambarkan ekspresi terkejut darinya dan dengan spontan menangkis
pedang Kaito dengan pedangnya. Mereka beradu pedang dengan cepat. Kecepatan
yang luar biasa. Terlihat jelas bahwa si jubah merah terdesak dengan serangan
bertubi-tubi yang dilancarkan Kaito. Ini hal yang mengagetkan. Seorang Kaito
yang tidak pernah memegang pedang sebelumnya, sekarang malah bertarung melawan
orang asing dengan menggunakan pedang.
Adu pedang yang
sengit berlangsung cukup lama dan seru. Tak ada satu pun dari mereka berdua
yang terlihat mulai menyerah. Tapi dilihat secara kasat mata, Kaito memang
unggul dengan semangatnya yang membara. Hingga akhirnya,
Trang.
Pedang si jubah
merah terlempar. Dengan cepat Kaito menghalangi leher si jubah merah dengan
pedangnya. Seperti hendak mengakhiri nyawa si jubah merah.
“Katakan, kenapa
kau ada di sini? Untuk apa kau menyerang perempuan tadi?”
Si jubah merah
hanya terdiam. Kebisuan membuat Kaito menjadi was-was. Otak Kaito berputar,
memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi jika si jubah merah terdiam. Bisa
saja si jubah merah sedang memikirkan serangan balik untuknya.
Tapi tak lama,
sosok si jubah merah menghilang bersamaan dengan pedangnya yang terlempar. Si
jubah merah seakan berubah menjadi debu-debu berkilau tipis yang kemudian
hilang tertiup angin. Kaito terkejut dan menurunkan pedangnya. Ia berdiri mematung
dan berusaha mencerna apa saja yang terjadi barusan.
“Kerja bagus,
Kaito-kun,”
Kaito terkejut dan
memalingkan wajahnya ke arah suara. Ia dapat melihat sesosok manusia yang
sangat ia kenali.
“Mizuko-san? Apa,
apa yang kau lakukan di sini?”
“Bagaimana? Pedangmu
bagus kan?”
“Ap, apa? Aku
tidak mengerti maksudmu,” Kaito berusaha mencerna dan menangkap maksud dari Mizuko.
“Kau adalah
seorang sword dancer,”
Mizuko menunjuk ke
arah pedang yang sedari tadi digenggam Kaito.
“I, ini...?”
Ia memandangi
tangannya yang masih menggenggam pedang. Kaito terlihat kebingungan. Mizuko
hanya terdiam dan menghela nafas.
“Selamat, Kaito-kun.
Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
“Eh....?!”
“Sekarang kau akan
mengetahui kebenaran. Sabergale Academy adalah sekolah khusus anak-anak yang
memiliki kemampuan sword dance. Sama seperti kau, mereka bisa
mengeluarkan pedang mereka dari dalam tubuh,”
“Eh... Ah, apa...
maksudmu? Aku tidak dapat mencerna perkataanmu. Apa itu sword dance?”
Kaito semakin bingung, bukan karena bahasa Mizuki yang salah, tapi karena
memang yang ia bahas adalah topik yang sama sekali tidak pernah Kaito dengar.
“Sword dance
adalah teknik untuk mengeluarkan pedang dari dalam tubuhmu. Seperti yang
barusan kau lakukan. Yang tadi adalah Sword Slayer. Mereka kelompok yang
baru-baru ini muncul di sekitar Sabergale Academy. Anggota dan pemimpinnya
belum jelas. Markas mereka pun belum diketahui. Yang diketahui hanya tujuan mereka,
yaitu menghabisi semua sword dancer. Mulai dari bibitnya hingga yang
master,”
Kaito tertegun. Ia
mulai berfikir, berusaha mencerna semua ketidak masuk akalan ini. Jika ia bisa
tertawa, mungkin ia akan melakukannya sekarang juga. Karena yang ia alami
memang sama sekali tidak masuk akal. Seperti ibu peri yang tiba-tiba muncul di
hadapannya dan menawarkan tiga permintaan untuknya. Tapi kalau yang disebut
sebagai Sword Slayer memang memiliki tujuan untuk menghabisi sword dancer
dari bibitnya berarti sedari tadi si jubah merah itu memang mengincarnya! Bukan
anak perempuan yang telah ia tolong. Itu hanyalah pemancing bagi dirinya untuk
menunjukkan diri. Karena itu ia tersenyum ketika berhadapan dengan Kaito, seolah-olah
umpan yang ia buat telah berhasil memancing sebuah emas yang ia incar.
Tapi sesuatu
mengganjal di pikiran Kaito.
“Mizuko, kenapa
kau tahu tentang Sabergale Academy? Tidak ada seorang masyarakat biasa yang mengetahui
informasi mengenai Sabergale secara detil,”
Kaito memulai
interogasinya.
“Ah, ternyata kau
sadar juga. Jadi kau memang tak seburuk penampilanmu,”
“Apa?!”
“Bercanda, yah apa
boleh buat. Aku juga tidak bisa terus menyembunyikannya. Toh lama kelamaan kau
juga akan tahu,”
Kemudian pusaran
angin mengelilingi Mizuko. Angin yang cukup kencang untuk membuat debu dan
dedaunan terbang menjauh dari pusaran yang dihasilkan Mizuko. Tak lama, angin
itu mereda. Pemandangan yang asing dan mengejutkan. Mizuko telah berubah
menjadi seorang perempuan cantik yang sangat berbeda dengan yang ia kenal.
Meskipun gaya rambutnya tidak berubah, tapi ia memiliki rambut yang berwarna
putih keunguan. Ia tidak lagi mengenakan seragam sekolahnya, tapi menggunakan
seragam sekolah lain. Seifuku[7]
yang selalu membuat semua orang iri sehingga melontarkan tatapan sinis pada
pemakainya. Seifuku dari Sabergale Academy. Bola matanya berwarna hijau
toska, dipadukan dengan garis alis yang tegas. Menggambarkan dirinya yang kuat.
“Mungkin ini
pertama kali kau melihatku seperti ini. Sepertinya aku harus mengulanginya ya.
Namaku Megan Frost. Dan aku adalah seorang sword dancer. Salam kenal,”
Katanya tersenyum, menghiraukan Kaito yang masih terlarut dalam perubahan
Mizuko.
“Ja, jadi
sebenarnya selama ini, kau murid Sabergale Academy?” Tanya Kaito pada akhirnya.
“Benar, aku
dikirim untuk mencari dan melindungi bibit-bibit sword dancer yang ada
di sekolah ini. Tapi sepertinya hanya kau yang dimaksud,”
“Melindungi? Kau
tahu aku hampir mati tadi,” Jawab Kaito dengan ketus.
“Gomen, gomen[8],
aku sengaja membiarkanmu. Karena aku melihat bahwa telurmu sudah matang dan
siap dikeluarkan. Maka aku membiarkan kau mengeluarkannya dengan tenagamu
sendiri,”
“Mengeluarkan?
Maksudmu pedang ini?”
Tanya Kaito, meskipun
ia tidak yakin ingin mendengar penjelasannya.
“Benar, setiap sword
dancer menyimpan sebilah pedang yang ada dalam dirinya. Jika pedang itu
sudah siap untuk kau gunakan, maka dengan sendirinya ia akan keluar. Tentu saja
pengeluaran pedang itu membutuhkan perangsang. Karena itu aku membiarkanmu
tadi. Selain itu, hanya orang khusus yang disebut sword dancer lah yang
dapat mengeluarkan pedang dari dalam dirinya,”
Kaito terdiam. Terlalu
banyak hal baru yang ia ketahui dalam waktu yang singkat. Ini membuatnya pusing
dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Walaupun ia tahu berusaha seperti apapun
ia tak akan bisa terbangun. Karena berdirinya ia di tempat itu menandakan bahwa
ini adalah nyata.
“Aku akan
mengurusi kepindahanmu dari sekolah. Kau bersiap-siaplah dan jelaskan apa yang
kau perlu jelaskan kepada keluargamu. Mulai besok kau akan tinggal di Sabergale
Academy. Aku tunggu di halte bus dekat rumahmu,”
Mizuko, atau yang
sekarang bernama Megan, berbalik badan dan pergi meninggalkan Kaito yang masih
berdiri mengatung, terhanyut pada yang dipikirkan olehnya. Semuanya terjadi
begitu cepat. Sekarang ia bukan lagi manusia biasa. Ia adalah sword dancer.
Orang yang memiliki pedang dan mempunyai kemampuan sword dance.
Kaito menengadahkan
kepalanya ke atas, menatap langit sore yang mulai menggelap. Seolah-olah
mencari jawaban dari semua ketidakmasuk akalan ini. Dan ia harus berhadapan
dengan fakta bahwa kehidupan normalnya akan berubah. Bahwa ia akan meniggalkan
garis takdirnya dan menyatu dengan garis baru yang tidak ia kenal. Tapi ia
tidak ingin memusingkan hal itu sekarang. Kaito menggelengkan kepalanya untuk
mengusir pemikiran anehnya dan mengembalikkan pedang, yang sedari tadi masih ia
genggam, ke dalam tubuhnya. Pedang itu perlahan menghilang bagai debu dan
menyatu kembali dengan tubuhnya.
Tidak masuk akal. Semuanya
tidak bisa dijelaskan dengan akal. Tapi ini nyata. Kaito harus berhadapan
dengan fakta baru dan mungkin nanti ia akan menemukan lebih banyak hal tidak
masuk akal yang merupakan fakta tersembunyi di kehidupan barunya nanti.