Matahari kembali
menampakkan sosok gagahnya dan menghiasi langit dengan sinar keemasannya. Kaito
tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Kenyataan bahwa ia adalah seorang sword
dancer membuatnya terguncang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sesuatu
yang besar akan terjadi pada dirinya.
“Bagaimana? Menjadi
seorang sword
dancer?”
“Selamat,
Kaito-kun. Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
Kata-kata Megan bergema
di ruang kosong pikiran Kaito, menghantuinya—mengejar-ngejarnya. Ia seakan
dipermainkan oleh pikirannya sendiri, yang membuatnya terlampau jatuh dalam
imajinasi liarnya. Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, ingatannya masih
jelas, segar seperti baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Entah sudah berapa
menit Kaito lewatkan hanya untuk duduk termenung di pinggir ranjangnya. Ia tak
beranjak keluar kamarnya—dan sepertinya sama sekali tidak berniat untuk
melakukannya—meskipun ia telah bangun. Yah, hari itu adalah hari dimana ia
harus pindah ke Sabergale Academy. Tepat setelah pengajakan Megan, yang lebih
mirip dengan peritah, kepada Kaito untuk pindah ke Sabergale Academy, Kaito
memikirkan berbagai cara untuk mengabarkan hal itu pada orang tuanya tanpa
membocorkan sedikit pun rahasia Sabergale Academy. Dengan kata lain, tentu saja
ia harus mengarang cerita tentang perpindahannya ke Sabergale Academy. Itu
menyakitkan bagi Kaito, tapi ia tak mau mengambil resiko jika ia harus
berhadapan lagi dengan Sword Slayer tanpa memiliki pengalaman sword dance.
Dengan begitu, keputusan untuk pindah memang keputusan terbaik.
Kaito mengepalkan
tangannya, seolah-olah ia bisa meyakinkan dirinya dengan melakukan hal itu. Raut
wajahnya yang berpikiran kosong telah berganti dengan sorot mata penuh percaya
diri dan keyakinan yang kuat. Bukan saatnya mundur. Ia telah menentukan pilihan
hidupnya, atau lebih tepatnya terpaksa harus menentukan pilihan. Jadi
tidak ada cara lain selain terus melangkah maju dengan memilih pilihan terbaik
yang ia miliki.
Setelah mengingat
hal itu semua, Kaito menguatkan tekadnya. Ia menghela napas panjang dan berat.
“Aku akan bisa
melewati ini semua,”
Ia bangkit dari
kegelisahannya dan melangkah keluar kamar.
Tak banyak barang
yang Kaito bawa. Hanya satu kopor, satu tas gendong dan satu tas jinjing. Ia
membawa barang yang dikiranya akan berguna di asramanya nanti. Ia juga tak
terlalu banyak membawa baju, karena ia tak terlalu suka membereskan
barang-barang jika terlalu banyak. Tetapi saat ia telah tiba di tempat
perjanjian, ia tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Megan. Kaito menyapu
pandangannya, berharap melihat Megan melambai-lambai ke arahnya. Sayangnya hal
itu tidak terjadi.
“Yo, maaf
membuatmu menunggu,”
Sebuah suara
terdengar, membuat Kaito sedikit tersentak dan memalingkan kepalanya dengan
cepat.
“Oh, yah, belum
terlalu lama juga kok,”
Jawab Kaito,
berusaha membuat suaranya tak terdengar kaget. Ia memperhatikan Megan yang
mengenakan seifuku-nya, menghiraukan orang-orang di halte yang menatap
sinis padanya.
“Baiklah, sekarang
ikuti aku,”
Pinta Megan seraya
memimpin jalan.
“Cho, chotto mate[1],
kita tak naik bis?”
“Naik bis?
Ahahaha, yang benar saja, tak ada jalur bis menuju Sabergale Academy. Bahkan
jalan di sekelilingnya pun tertutup sekali, khusus untuk orang yang tinggal di Sabergale
Academy saja,”
“Oh, gitu ya,
terus, bagaimana kita ke sana?”
“Hm, bagaimana ya?”
“Jangan main-main,”
“Ahaha, oh ayolah,
kau memang tak bisa diajak bercanda,”
Mereka berjalan
menusuri trotoar, menuju sebuah kompleks perumahan dengan dinding-dinding beton
sebagai pembatas setiap rumah. Megan membimbing Kaito menuju sebuah tempat yang
sama sekali asing. Hingga mereka sampai di sebuah jalan buntu, hanya ada sebuah
tembok.
“Hei, apa ini? Hanya
jalan buntu,” Keluh Kaito.
“Diam dan
lihatlah,”
Raut wajah Megan
berubah menjadi serius. Ia mengangkat tangan kanannya, mengarahkan telapak
tangannya ke tembok yang kosong di depannya. Pusaran angin timbul di sekeliling
telapak tangan Megan, seperti efek yang muncul dari sebuah kekuatan
supernatural. Ukiran-ukiran bermunculan di tangan Megan. Bersinar seperti
mengaktifkan sebuah sistem tertentu.
“Magic Skill :
Teleport!”
Zuuung.
Dan sepersekian
detik kemudian, sebuah lubang hitam besar muncul di atas tembok beton polos yang
ada di hadapan mereka.
“Woaaa,”
Kaito melihat
dengan kagum—sekaligus heran dan kaget, benar-benar sesuatu yang mustahil tapi
nyata.
“Ayo masuk,
sebelum ada yang melihat,”
Ucap Megan dan
segera melompat ke lubang itu dengan tegas. Kaito mengikutinya dan ikut
melompat bersama barang bawaannya.
“Uwaaa!”
Kaito berteriak
dan terlompat jatuh keluar dari lubang yang tadi ia lewati.
“Bangunlah, lihat
kita sudah sampai di gerbang,” Kaito menoleh pada perempuan yang berdiri di
sampingnya, ternyata Megan tidak jatuh.
Kaito bangun dari
posisi jatuhnya dan melihat ke depannya.
Matanya membulat,
sebersit rasa kagum yang selama ini ia pendam naik ke permukaan. Tempat yang
selama ini hanya ia lihat dari kejauhan kini tepat berada di depan matanya.
Seperti mimpi. Bahkan dari gerbangnya pun sudah terlihat kemewahan dan keelitan
dari gedung ini.
Kaito menelan
ludah, menyadari bahwa ia telah sampai di gerbang Sabergale Academy. Tapi rasa
keraguan yang mati-matian ia singkirkan semalam hadir kembali dan mengisi
seluruh saraf kesadarannya. Raut wajahnya menjadi lesu dan penuh pertimbangan.
“Hey, apa yang kau
lakukan? Cepatlah! Sebentar lagi akan ada upacara penyambutan. Kita tak boleh
ada di sini,”
Perintah Megan
membuat pikiran Kaito buyar. Kaito mengerjap dan menghela nafas. Syukurlah,
gumam Kaito.
Seuntai senyum
menghiasi wajah Kaito. Tanpa ragu lagi ia berjalan perlahan, mengikuti langkah
Megan yang membimbingnya masuk ke kawasan Sabergale Academy—tempat semua
rahasia tersimpan. Bukan lagi saatnya untuk meragukan keputusan yang telah ia
ambil. Sudah saatnya ia melangkah maju dan melihat ke depan.
Dengan penuh
percaya diri, Kaito mengikuti Megan menuju gerbang Sabergale Academy dan
memantapkan hatinya untuk menyaksikan semua hal baru yang ada di balik tembok
raksasa Sabergale Academy. Tepat saat ia melewati gerbang, yang tingginya
hampir enam meter, langkahnya terhenti. Kaito menarik nafas cepat, tercekat. Ia
telah disambut oleh beberapa murid dari Sabergale Academy, yang membuatnya
salah tingkah dan kehilangan kemampuan untuk berbicara. Yah, Kaito tidak bisa
menggambarkan situasi saat itu dengan kata-kata, pemandangan yang... aneh. Mungkin
itu akan terlihat normal jika ia tidak berada di sebuah sekolah SMA elit dengan
segala fakta tersembunyinya. Tapi yang Kaito lihat adalah beberapa murid yang
terlihat normal dengan seifuku yang juga normal. Seifuku
abu-abu dengan dasi berwarna biru. Bagian luarnya dilapisi jas biru muda dengan
garis pinggir biru tua. Terlalu aneh untuk sebuah sekolah khusus yang
dirahasiakan, karena ia sama sekali tidak melihat perbedaan mereka dengan
murid-murid di sekolahnya yang lama.
Kaito mengangguk
hormat ke beberapa murid yang tersenyum ramah padanya. Harus ia akui ini adalah
permulaan yang menenangkan, karena sebelumnya ia telah membayangkan suasana
tegang yang mungkin akan ia hadapi saat melewati gerbang Sabergale Academy.
“Megan-san! Wah
jadi ini murid baru itu?”
Kaito mengalihkan
pandangannya pada sumber suara yang memanggil nama Megan. Ia adalah seorang
laki-laki yang memiliki tubuh cukup tinggi. Rambut kuning panjangnya dibiarkan
berantakan di atas kepalanya dan berkibar-kibar selama ia berlari kecil menuju Megan.
Menggambarkan sifatnya yang kalem dan ramah. Wajahnya memiliki garis rahang
yang tegas dan senyum manis yang dihiasi lesung pipit. Bola matanya berwarna
biru terang seperti langit. Ia mengenakan seifuku-nya dengan jas yang
dibiarkan terbuka, melambai-lambai selama ia berlari kecil. Megan menoleh dan
seulas senyum menghiasi wajah manis Megan.
“Ya, ini murid
baru yang aku rekrut dari Akihiko Gakuen. Kau ke sini untuk melihatnya, Yukio?”
“Tentu, karena
bagaimanapun dia akan jadi teman kita semua untuk ke depannya. Oh ya, bagaimana
dengan kamar asramanya? Sudah ada? Dengan siapa?”
“Sudah, itu sudah
ditentukan oleh Guardians of Sword. Ia akan sekamar dengan Stieghart Marcus,”
“Stieg?”
Terdapat nada ragu
dan bingung di ucapan Yukio.
“Ada apa?”
“Stieg...” Megan
merasakan suara Yukio sedikit bergetar, dan melanjutkan, “Dia mati seminggu
yang lalu. Dia ditemukan tidak bernyawa dengan satu tusukan pedang yang
menembus tubuhnya, di West Hall,”
“Ap, apa?! Ti,
tidak mungkin.... Apa yang terjadi?!”
“Aku tidak tahu,
sepertinya investigasi lanjut dari kasus itu tidak diumumkan. Aku berpikir
mungkin ini kasus besar yang melibatkan Guardians of Sword, karena itu sangat
tertutup. Ketua dari tim investigasi, Nathaniel Crosser, hanya memberitahu kita
bahwa penggunaan pedang diizinkan dan kita harus selalu mengaktifkan signer
kita dimana pun kita berada,”
Megan terlihat
syok dan terpukul. Keadaan Sabergale Academy semakin memburuk, diambang
kehancuran. Tubuh Megan gemetar, karena rasa takut dan amarahnya, mendengar
berita yang baru ia dengar. Selama ia di Akihiko Gakuen, informasi dari
Sabergale Academy tidak dibocorkan kepadanya yang sedang bertugas. Ini
membuatnya kesal. Kesal karena informasi sepenting ini baru ia ketahui
sekarang.
“O, oi, maaf,
sepertinya kalian sedang berdiskusi hal yang serius, tapi bagaimana kalau
mengantarkanku dulu untuk ke wilayah Sabergale Academy ini?”
Megan dan Yukio
mengerjap, seperti telah ditarik kembali untuk menghadap pada kenyataan. Megan
kembali teringat pada alasan sebenarnya ia kembali ke Sabergale Academy.
“Ah, gomen ne
Kaito-kun. Aku sampai lupa pada posisimu sekarang,” Ucap Megan diiringi tawa
meminta maaf.
“Lebih baik kau
mengantarnya ke kamarnya dulu. Lalu kita bisa bicarakan ini lagi. Aku tunggu di
CafĂ©,” Yukio menepuk pundak Megan.
“Oke,”
Yukio pun pergi
seraya melambaikan tangan. Meninggalkan Megan dan Kaito.
“Nah, ayo, kita ke
tempat yang akan jadi kamarmu,”
Megan kembali
menunjukkan jalan kepada Kaito. Kaito menurut dan mengikuti langkah Megan,
mengikuti di belakangnya.
“Hei, tadi itu
siapa?” Kaito bersuara, berusaha mencairkan suasana tegang yang tiba-tiba
muncul di antara Megan dan Kaito.
“Oh, namanya Yukio
Shirota. Dia juga seorang sword dancer. Bahkan dia adalah kakak kelasku.
Dia orang yang berbakat, sekarang ini dia telah mencapai level 5 meskipun
usianya masih muda,” Megan memulai ceritanya.
“Hoo, tapi aku
masih tidak mengerti. Apa itu sword dancer? Dari mana asal pedangku
waktu itu?”
“Sword dancer
adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menarik keluar pedang dari
dalam tubuhnya. Pedangmu adalah dirimu. Itu mencerminkan dirimu yang
sebenarnya,”
Kaito mengedipkan
mata berkali-kali, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia masih tidak bisa mempercayai
apapun yang Megan katakan. Megan melirik ke arah Kaito dan menghela napas.
“Yah, nanti kau
juga akan mendapatkan pelajaran mengenai sword dancer,”
“Oh...” Kaito
menggumam.
Keheningan yang
mengisi langkah mereka membuat Kaito tertekan. Megan—lebih tepatnya Mizuki—yang
selama ini ia kenal telah menjadi orang asing di matanya. Kini ia merasa ialah
yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ini, sekolah ini, ataupun Megan, meskipun
ia telah masuk dan bahkan menjadi salah satu dari Sabergale Academy. Kaito
kembali berusaha membuka percakapan.
“Oh ya, Megan, di
sini semuanya adalah sword dancer, tapi mereka memiliki level
masing-masing? Bagaimana cara menentukan level seseorang? Dan aku ini level
berapa?”
“Oh ya, kau belum
tau ya, semua sword dancer memiliki level. Dimulai dari level 0 hingga
10. Selain itu sword dancer juga dikelompokkan berdasarkan pedangnya. Secara
umum pedang sword dancer memiliki ciri yang hampir sama. Untuk orang
baru seperti kau, seharusnya masih level 0. Tapi kita belum tahu jika belum
diukur. Nanti kau juga akan tahu bagaimana cara menetukan level seorang sword
dancer,” Jelas Megan panjang lebar.
“O, oh,”
Kaito hanya menggumam
menandakan bahwa ia mendengarkan meskipun ia masih tidak mengerti.
Megan membalikkan
badan dan tersenyum.
“Yah, kau tidak
harus mengerti sekarang. Lama kelamaan kau juga akan mengerti sendiri. Seiring
kau bersekolah di sini,”
Kaito tersenyum
tipis.
“Sepertinya kita
telah sampai, kau bisa lihat gedung di sana. Itulah asramamu,”
Megan menunjuk
pada gedung besar bercorak. Warna dan bentuknya mengesankan gedung yang elegan
dan megah. Kaito terpana, entah untuk yang ke berapa kalinya, dengan
gedung-gedung di wilayah ini. Ia mulai berpikir berapa dana yang dibutuhkan
untuk membangun gedung megah sebanyak ini. Pemilik Sabergale Academy pastilah
sangat kaya sehingga bisa membangun gedung-gedung di sini tanpa bantuan dari
pemerintah. Yah, bagaimanapun Sabergale Academy adalah sekolah sangat rahasia
yang bahkan pemerintah pun melepaskan tanggung jawab mengenai sekolah itu. Jadi
tidak heran jika penduduk sekitar tidak bisa menolak keberadaan Sabergale
Academy hanya dengan alasan iri.
“Jangan bengong
saja! Lebih baik kau masuk dan melihat-lihat dalamnya. Kamarmu ada di lantai 3,
kamar nomor 315. Kudengar pemandangan dari kamar itu sangat bagus karena bisa
melihat matahari terbenam,”
“Benarkah?” Kaito
menjawab dengan acuh. Ia malah terbenam dengan pandangan kagum pada desain dari
gedung yang akan ia tinggali. Kaito masuk ke dalam gedung tanpa sedikit pun
melepaskan pandangannya pada ukiran-ukiran sempurna yang terpahat di setiap
tembok luar gedung asramanya. Matanya mengerjap lagi ketika melihat suasana
dalam gedung berukir itu. Tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi. Suasana
yang pas untuk sebuah asrama. Di bagian lobby terdapat sofa empuk yang berbahan
kulit dengan bulu-bulu, terlihat mahal. Lampu gantung terbuat dari kaca yang
biasa ada di sebuah pesta dansa menggantung di langit-langit lobby. Tepat di seberangnya
terdapat meja resepsionis seperti hotel. Di situ tempat penitipan barang yang
diantarkan kepada salah satu murid asrama. Megan dan Kaito menghampiri meja
resepsionis dan disambut oleh seorang wanita setengah baya yang tersenyum ramah
pada mereka.
“Nona Megan? Ada
apa datang kemari?”
Sepertinya Megan
dan orang itu telah mengenal satu sama lain.
“Aku membawa teman
baru. Aku yang merekrutnya, dia pemula. Dia akan tinggal di asrama ini, kamar
315,”
“Oh, tunggu biar
aku cek terlebih dahulu,”
Wanita itu
kemudian beralih kepada sebuah layar setipis kaca bening dan mulai mengutak
atik layarnya seperti sebuah komputer full-touch.
“Ah, ya benar
kamar itu kosong sekarang. Pemilik kamarnya sudah tidak menempatinya,” Ujar
sang resepsionis.
“Baik, aku akan mengantarnya
ke kamarnya sekalian membantunya membereskan barang-barangnya,”
“Ok, maaf...” Si
resepsionis menengok ke arah Kaito, menunjukan raut wajah bertanya-tanya
mengenai namanya.
“Ah, oh, Kaito.
Kaito Kakihara,”
“Oh, Kakihara-san,
bisa kau ulurkan tangan kirimu?”
Walau bingung,
Kaito mengulurkan tangan kirinya.
Sang resepsionis
menjulurkan jarinya ke atas punggung tangan Kaito. Dia mulai membuat
gerakan-gerakan berliuk, seolah-olah sedang menggambar di atas tangan Kaito. Jari
sang resepsionis terhenti, diikuti bersinarnya tangan Kaito sesuai dengan
bentuk gambar yang dibuat di punggung tangannya. Kaito terkejut dan hampir saja
dengan reflek ingin menarik tangannya, namun berhasil ia tahan.
“Magic Skill :
Key!”
Cahaya di tangan
Kaito meredup dan menghilang digantikan dengan pola aneh di sepanjang jari
tengah tangan kirinya.
“Apa ini?” kaito
mengangkat tangan kirinya untuk melihat pola di jari kirinya lebih jelas.
“Itu kunci bagimu
untuk masuk kamar. Dengan ini hanya kau yang bisa masuk ke kamarmu sendiri,”
Sekali lagi Kaito
terpana dengan apa yang baru ia ketahui dan ia lihat. Sebelumnya ia tak pernah
percaya dengan kemampuan semacam itu sampai setelah ia melihat bahwa itu nyata.
Kaito memandang tangan kirinya dengan terpana.
“Tapi bagaimana
cara kerjanya?” Tanya Kaito.
“Kau tinggal
mengarahkan simbol itu ke panel bening yang ada di kamarmu. Dan pintu akan
secara otomatis terbuka,”
“Woaa, sugoi[2],”
“Ayo kita ke
kamarmu, aku tidak punya banyak waktu,” Megan menarik baju Kaito dan
menyeretnya menuju lift.
Kaito memasuki
sebuah lift luas berlapis kaca bening, sehingga ia bisa melihat pemandangan di
sekitarnya atau kecepatan lift tersebut bergerak. Ia memperhatikan Megan
mengoperasikan lift tersbebut. Kaito memiringkan kepalanya, tidak ada satu pun
tombol di samping pintu lift. Hanya sebuah panel bening—sama seperti yang
digunakan si resepsionis. Megan menarikan jarinya di atas panel bening itu,
membentuk sebuah pola asing yang sama sekali tidak Kaito mengerti. Setelah jari
Megan berhenti bergerak, lift mulai mengoperasikan perintah Megan dan bergerak
naik. Jadi harus menghafalkan beberapa simbol untuk mengoperasikannya, pikir
Kaito.
Lift mereka
bergerak cepat, terlihat dari pemandangan di balik kaca bening lift yang
bergerak turun dengan cepat. Sehingga tak butuh waktu lama bagi Kaito dan Megan
untuk sampai di lantai tiga. Lift berbunyi, bunyi asing yang baru didengar
Kaito. Bukan bunyi “ting” yang biasa terdengar di kebanyakan lift. Tapi justru
bunyi piano klasik yang tersusun atas empat nada secara beruntun. Sebuah
kejutan kecil yang membuat Kaito tersenyum.
Megan keluar dari
lift, diikuti Kaito, dan selang beberapa detik pintu lift kembali menutup. Mereka
berjalan di sepanjang lorong lebar yang berlapiskan karpet merah. Dinding-dindingnya
dibungkus dengan wallpaper berwarna soft, membuat suasana lorong
terlihat tenang. Kaito tidak bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
melihat dinding-dinding, lukisan-lukisan, dan lampu-lampu yang menghiasi
sepanjang lorong.
Setelah beberapa
pintu mereka lewati, Megan berhenti pada sebuah pintu berwarna silver dengan
gagang pintu berwarna keemasan. Di muka pintu terdapat panel bening yang cukup
besar yang di bagian atasnya tertulis 315.
“Nah, ulurkan
jarimu,”
Kaito pun menurut.
Ia mengulurkan kepalan tangannya dan mengarahkan simbol di jari tengahnya ke
panel bening itu. Dengan cepat panel tersebut merespon dan menampilkan sebuah
kotak bergerak, bertuliskan “loading...” yang berkedip-kedip. Setelah kotak
tersebut telah terisi penuh muncul sebuah nama. Nama Kaito, Kaito Kakihara. Dan
secara otomatis pintu kamar terbuka.
“Wah, keren,”
Mata Kaito
berbinar-binar.
“Oh ayolah, kau
ini terlalu banyak terpesona,”
“Memangnya salah? Aku
tidak pernah menemukan benda seperti ini di tempatku. Ini pasti teknologi yang
canggih,” Ucap Kaito sedikit menggerutu.
Megan tersenyum
geli, berusaha menahan tawanya.
“Ya, panel yang
dari tadi kau temui itu salah satu teknologi canggih yang telah diciptakan Sabergale
Academy di divisi teknologi dan informasi,”
Megan masuk ke
dalam ruangan. Kaito pun mengikutinya masuk ke dalam kamar barunya.
“Eh? Jadi
Sabergale Academy juga dibagi jadi divisi-divisi?”
“Ya, mereka yang
masuk dalam divisi sama saja seperti petinggi. Dan mereka juga sword dancer.
Tapi tak semua orang di sword dancer bisa masuk ke dalam divisi-divisi
itu. Sebab mereka dipilih berdasarkan kemampuannya,”
“Hoo, kau sendiri?
Kau masuk dalam divisi?”
Kaito menurunkan
barang bawaannya dan mulai mengeluarkan isinya. Megan ikut membantu mengeluarkan
isinya.
“Tidak, aku hanya
murid biasa. Tapi Yukio masuk dalam divisi,”
“Oh ya? Divisi
apa?”
“Divisi
pertahanan,”
“Pertahanan?”
“Ya, dengan
kemampuan sword dancer nya, ia sangat berguna dalam divisi pertahanan,”
“Hmm, aku jadi
penasaran seperti apa bentuk pedangnya,”
“Yah, nanti juga
kau akan lihat,”
Kaito mulai
memperhatikan sekeliling. Kamar barunya cukup luas. Dilengkapi dengan pemanas
dan pendingin. Ranjang miliknya ada di dekat lemari baju yang besar. Lemari
baju tipe geser yang didesain satu paket dengan ruangan itu. Terdapat meja
belajar dengan sebuah panel bening tertata rapi di atasnya. Lampu belajar juga
berdiri di atas meja tersebut. TV LCD tergantung tepat di depan ranjang. Tembok
bagian belakang TV membentuk lengkungan sebagai tempat masuk menuju kamar
mandi. Kamar mandinya memiliki bath tub dan shower. Juga sebuah wastafel besar
dengan kaca lebar di atasnya. Toilet duduknya juga didesain mewah. Semuanya
dioperasikan dengan panel bening yang sama—termasuk keran, toilet dan shower.
“Kamar yang luar
biasa!”
Kaito tidak bisa
menyembunyikan kekagumannya pada setiap sudut ruangan. Dia terus memperhatikan
kamar barunya, tersenyum puas seakan-akan ialah yang telah mendesain ruang kamarnya.
“Hah, anak ini tak
pernah mendengarkan,”
Megan menghela napas
dan melanjutkan mengeluarkan barang bawaan Kaito. Sadar akan kondisinya
sekarang, Kaito menghampiri Megan dan mulai merapikan barang bawaannya sendiri.
Mereka tak
menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membereskan barang bawaan Kaito. Setelah
selesai, mereka duduk dalam kebisuan. Tak satu pun memulai pembicaraan. Membuat
suasana sedikit... canggung. Menyadari suasana tak mengenakan yang tiba-tiba
menyelimuti kamar Kaito, Megan berdiri cepat—terlalu cepat hingga terlihat
gelisah.
“Aku ada urusan
setelah ini. Kau bisa menghubungiku jika membutuhkan sesuatu. Selama malam ini
kau bisa beristirahat atau jalan-jalan keliling wilayah Sabergale. Tapi
lagipula matahari sebentar lagi terbenam, jadi lebih baik kau istirahat saja,”
“Um, iro iro
arigatou[3],”
“Douita[4],”
Megan hendak pergi
tapi kemudian berbalik.
“Ah, kau sudah
mengerti menggunakan panel itu?” Megan menunjuk pada panel bening yang ada di
atas meja belajar Kaito.
“Oh, ya, aku belum
mengerti...” Jawab Kaito polos.
“Sebenarnya tidak
sulit, kau tinggal coba mengutak-atiknya sendiri. Lama kelamaan juga kau
mengerti. Di sini sekolah cukup bawa panel itu, tak seperti sekolahmu yang
dulu. Kau harus bawa banyak buku,”
Megan lalu tertawa
dan membuka pintu kamar Kaito.
“Ja mata ne[5],
Kaito-kun,” Megan keluar kamar dan melambaikan tangan. Kaito membalas lambaian
tangannya dan perlahan menurunkan tangannya. Ekspresi wajah Kaito yang santai
berubah menjadi serius dan tegang.
Yukio menunggu
kedatangan Megan di La Girandole Café. Sebuah tempat favorit murid-murid
Sabergale di sore hari, menunggu matahari terbenam. Yukio menyesap kopi yang
telah ia pesan sebelumnya, dan menghela napas lelah. Yukio menyandarkan
tubuhnya pada sofa empuk di salah satu meja pengunjung café. Ia dapat mencium
wangi harum kopi dan cokelat yang kental di ruangan itu, sedikit membuatnya
rileks dan santai meskipun otaknya tidak berhenti bekerja.
Yukio menyapukan
pandangannya pada satu-satunya café di Sabergale Academy. Tidak banyak
pengunjung pada sore ini. Yukio menoleh pada salah satu jendela di dalam café. Pandangannya
menerawang jauh, tidak terfokus pada posisinya saat itu. Pikirannya penuh
dengan berbagai pertanyaan dan pendapat mengenai keadaan Sabergale Academy
akhir-akhir ini. Meskipun ia tahu bukan hanya ia yang memikirkan keadaan
Sabergale sekarang—tapi hampir semua murid Sabergale. Mereka tak mau mati
konyol untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Dengan kematian
Stieghart, maka jumlah korban sudah mencapai sembilan orang. Dan di antara
mereka bersembilan, tak ada hubungan yang memungkinkan untuk menentukan motif
sang pembunuh. Mereka benar-benar dipilih secara acak. Walaupun jangkauan level
yang diincar adalah level 0 sampai 4, itu hanya memberikan petunjuk bahwa
mungkin pelakunya adalah orang yang memiliki level 5 ke atas. Menganalisa murid
berlevel 5 ke atas bukanlah hal mudah. Tapi hal itu sudah dilakukan dan tidak
ada sesuatu yang ditemukan.
“Yukio,”
Suara menyapa dari
belakangnya membuat pikirannya kembali pada tubuhnya sekarang, di café.
“Oh, Megan, cepat
juga kau,”
“Yah, tak butuh
waktu lama bagiku untuk merapikan kamarnya,”
Megan duduk di
hadapan Yukio dan memesan segelas cappucino.
“Nah, bagaimana
dengan kelanjutan ceritamu?”
Raut wajah Yukio
berubah menjadi lebih serius. Dia membetulkan posisi duduknya, memberikan kesan
tegang pada suasana di antara mereka.
“Kau, seperti yang
sudah kau ketahui, kejadian-kejadian yang terjadi di Sabergale
sekarang-sekarang ini memang sangat ganjil. Aku juga tidak mengerti kenapa hal
semacam ini bisa terjadi di sekolah kita yang merupakan anak-anak terpilih. Jadi
aku menyimpulkan mungkin saja pelakunya adalah salah seorang petinggi di sini
yang menjadi mata-mata organisasi pemerintah. Bisa jadi mereka melihat bahwa
sekolah ini mengganggu—“
“Tapi itu terlalu
jauh, aku tidak yakin hal itu mungkin. Kau juga tahu bahwa sekolah ini ada di
bawah naungan pemerintah—walaupun mereka tak tahu apa-apa tentang sekolah ini,
jadi buat apa mereka membunuh anak-anak yang memang sengaja mereka pelihara?”
“Justru itulah,
mereka mendirikan sekolah macam ini mungkin awalnya hanya untuk sekolah biasa. Tapi
setelah dipimpin oleh kepala sekolah pertama Sabergale, keadaan berubah. Sekolah
ini jadi sangat tertutup dengan pemerintah, kau tahu itu. Karena sudah di luar
batas kewajaran, mungkin saja mereka ingin menyingkirkan kita perlahan-lahan
dengan membunuh rasa saling percaya kita,”
“So, sore wa[6]...”
Air wajah Megan
seketika berubah pucat, dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dan ia
tahu itu adalah kemungkinan terburuk dari kasus pembunuhan ini. Megan hanya
bisa terdiam dan terpaku. Memikirkan segala hal yang ada di benaknya. Terlalu
banyak hal yang dipikirkannya dan membuatnya termakan oleh imajinasinya
sendiri.
Melihat Megan yang
hanya terpaku, Yukio jadi tersadar dengan segala ucapan yang telah
diceritakannya. Raut wajah Yukio kembali melunak dan merilekskan posisi
duduknya.
“Yah, walau aku tahu
ini hanya hipotesisku saja, tidak ada bukti yang cukup memadai untuk
membuktikan hipotesisku. Jadi ini belum tentu benar,”
Megan tetap
terdiam. Keheningan mencekam menyelimuti mereka, membuat suasana semakin
tegang.
“Me, megan?”
Megan mendadak
berdiri dari tempat duduknya dengan wajah tertunduk. Seulas senyum aneh
tersungging di wajahnya.
“Kau terlalu
banyak mengetahui hal-hal. Aku memang salah membiarkanmu untuk sementara waktu
karena aku pikir kau tidak akan berbahaya,”
“A, apa? Apa yang
kau maksud?”
Dengan gerakan gesit,
Megan mengaktifkan Signernya dan mengeluarkan pedangnya. Yukio tersentak kaget
dengan reaksi aneh Megan. Dengan satu gerakan pasti, Megan menebas dada Yukio
hingga dia terdorong ke belakang. Yukio berteriak kesakitan dan menahan aliran
darahnya yang memancar melalui luka sabetan di dadanya.
“Kau, siapa kau?! Aku
tahu kau bukan Megan. Aku sudah mengetahuinya dari awal kau duduk, tapi aku
membiarkan kau karena aku ingin tahu apa tujuanmu. Tapi aku tak menyangka kau
akan langsung menyerangku,”
“Hahaha! Aku juga
sudah tahu kau menyadarinya. Tapi setelah menunjukkan wujud asliku, tak mungkin
aku membiarkan kau tetap hidup,”
Kemudian, cahaya
terang menyelimuti Megan palsu dan mengubah wujud Megan.
“Magic Skill :
Transform, Undo!”
“Transform?! Itu
kan sihir kelas atas yang hanya bisa digunakan sword dancer level 7 ke
atas!”
Dengan tatapan
tercengang, Yukio memperhatikan wujud Megan yang telah berubah menjadi sebuah
sosok asing yang sama sekali tak Yukio kenal.
“Kau, siapa kau?”
“Siapa? Kau takkan
tahu, dan takkan pernah tahu. Karena aku akan mengakhiri hidupmu sekarang!”
Perempuan asing
itu melangkah dan sepersekian detik kemudian ia telah berada dekat, sangat
dekat, dengan Yukio. Yukio tak punya celah untuk menghindar. Di tambah luka di dadanya
masih terus mengalirkan darah segar.
“Shimata[7]!”
Tapi kemudian,
pedang perempuan asing yang diarahkan ke Yukio itu tiba-tiba terlempar dengan
suara tangkisan yang nyaring. Pedang itu terlepas dari genggaman sang pemilik
dan berdenting di atas lantai café. Yukio menunjukkan ekspresi kaget sekaligus
leganya ketika melihat bahwa Megan lah yang melindunginya dari serangan
perempuan asing itu. Dengan ekspresi yang datar, perempuan asing itu terdorong
mundur dan berdiri tegak menghadap Megan yang melontarkan ekspresi marah.
“Ah, Megan Frost. Apa
yang kau lakukan di sini? Ternyata perhitunganku salah. Kalau kau tidak
buru-buru ke sini, mungkin yang akan kau lihat adalah mayat dari teman dekatmu
ini,”
Rahang Megan
menegang, tangannya menggenggam pedang dengan erat. Megan berdiri tegak dan
mengarahkan pedangnya pada perempuan asing itu.
“Aku memang punya
firasat buruk, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa firasatku akan tepat. Mari
kita selesaikan ini,”
“Ah, tantangan
yang menarik, tapi sayang sekali untuk sekarang ini aku tidak bisa melayanimu. Misiku
adalah membunuh Yukio Shirota. Jika itu tidak bisa dilakukan, aku hanya perlu
kembali,”
Megan hanya
terpaku di tempatnya, mengeratkan pegangan pada pedangnya. Entah kenapa ia
menjadi takut. Takut untuk menyerang, takut terbunuh karenanya. Dan yang paling
ia takuti adalah kehilangan teman dekatnya karena ketidak becusan ia dalam
bertarung. Keraguan menyelimutinya, mengakibatkan tubuhnya sedikit bergetar.
“Magic Skill :
Teleport,”
Perempuan asing
itu kemudian pergi dengan senyum kemenangan yang angkuh menghiasi wajahnya yang
putih pucat.
Megan menurunkan
pedangnya, dan menghentikan getaran di tubuhnya. Ia berbalik badan dan
menyadari bahwa Yukio sudah tersungkur di lantai. Pendarahannya semakin
memburuk, nafas Yukio tersengal-sengal karena kekurangan darah.
“Yukio! Bertahanlah!”
Megan duduk di
sebelah Yukio dengan terburu-buru, menempelkan telapak tangannya pada dada
Yukio.
“Magic Skill :
Heal!”
Cahaya silau
menyinari Megan dan Yukio. Megan berkonsentrasi penuh, mengumpulkan
tenaga-tenaganya untuk menyempurnakan kemampuannya. Beberapa detik kemudian,
Yukio sudah bisa bernafas dengan normal, luka di dadanya pun mulai menutup. Megan
menghela napas lega. Lalu, Yukio membuka matanya.
“Yukio! Kau tidak
apa-apa?” Megan menghentikan penyembuhan dan mendekatkan dirinya pada Yukio
yang tengah berbaring di lantai café.
“Aku baik-baik
saja, arigatou ne,” Yukio memaksakan senyum tipis untuk meyakinkan Megan
bahwa ia bisa bertahan.
“Syukurlah, aku
akan meneruskan penyembuhan sedikit lagi,”
“Tidak perlu, itu
hanya akan menghabiskan staminamu,” Yukio berusaha duduk perlahan.
“Tapi, kau juga
belum bisa duduk!” Protes Megan.
“Aku bisa, tenang
saja, luka seperti ini tidak sebanding dengan waktu itu,”
Megan terdiam,
mengerti maksud dari itu yang Yukio sebutkan.
“Nah, ayo
sebaiknya kita pergi dari sini sebelum kita diserang lagi,”