Rabu, 14 Agustus 2013

Sabergale Academy - BAB 2

Matahari kembali menampakkan sosok gagahnya dan menghiasi langit dengan sinar keemasannya. Kaito tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Kenyataan bahwa ia adalah seorang sword dancer membuatnya terguncang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada dirinya.
“Bagaimana? Menjadi seorang sword dancer?”
“Selamat, Kaito-kun. Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
Kata-kata Megan bergema di ruang kosong pikiran Kaito, menghantuinya—mengejar-ngejarnya. Ia seakan dipermainkan oleh pikirannya sendiri, yang membuatnya terlampau jatuh dalam imajinasi liarnya. Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, ingatannya masih jelas, segar seperti baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Entah sudah berapa menit Kaito lewatkan hanya untuk duduk termenung di pinggir ranjangnya. Ia tak beranjak keluar kamarnya—dan sepertinya sama sekali tidak berniat untuk melakukannya—meskipun ia telah bangun. Yah, hari itu adalah hari dimana ia harus pindah ke Sabergale Academy. Tepat setelah pengajakan Megan, yang lebih mirip dengan peritah, kepada Kaito untuk pindah ke Sabergale Academy, Kaito memikirkan berbagai cara untuk mengabarkan hal itu pada orang tuanya tanpa membocorkan sedikit pun rahasia Sabergale Academy. Dengan kata lain, tentu saja ia harus mengarang cerita tentang perpindahannya ke Sabergale Academy. Itu menyakitkan bagi Kaito, tapi ia tak mau mengambil resiko jika ia harus berhadapan lagi dengan Sword Slayer tanpa memiliki pengalaman sword dance. Dengan begitu, keputusan untuk pindah memang keputusan terbaik.
Kaito mengepalkan tangannya, seolah-olah ia bisa meyakinkan dirinya dengan melakukan hal itu. Raut wajahnya yang berpikiran kosong telah berganti dengan sorot mata penuh percaya diri dan keyakinan yang kuat. Bukan saatnya mundur. Ia telah menentukan pilihan hidupnya, atau lebih tepatnya terpaksa harus menentukan pilihan. Jadi tidak ada cara lain selain terus melangkah maju dengan memilih pilihan terbaik yang ia miliki.
Setelah mengingat hal itu semua, Kaito menguatkan tekadnya. Ia menghela napas panjang dan berat.
“Aku akan bisa melewati ini semua,”
Ia bangkit dari kegelisahannya dan melangkah keluar kamar.


Tak banyak barang yang Kaito bawa. Hanya satu kopor, satu tas gendong dan satu tas jinjing. Ia membawa barang yang dikiranya akan berguna di asramanya nanti. Ia juga tak terlalu banyak membawa baju, karena ia tak terlalu suka membereskan barang-barang jika terlalu banyak. Tetapi saat ia telah tiba di tempat perjanjian, ia tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Megan. Kaito menyapu pandangannya, berharap melihat Megan melambai-lambai ke arahnya. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
“Yo, maaf membuatmu menunggu,”
Sebuah suara terdengar, membuat Kaito sedikit tersentak dan memalingkan kepalanya dengan cepat.
“Oh, yah, belum terlalu lama juga kok,”
Jawab Kaito, berusaha membuat suaranya tak terdengar kaget. Ia memperhatikan Megan yang mengenakan seifuku-nya, menghiraukan orang-orang di halte yang menatap sinis padanya.
“Baiklah, sekarang ikuti aku,”
Pinta Megan seraya memimpin jalan.
Cho, chotto mate[1], kita tak naik bis?”
“Naik bis? Ahahaha, yang benar saja, tak ada jalur bis menuju Sabergale Academy. Bahkan jalan di sekelilingnya pun tertutup sekali, khusus untuk orang yang tinggal di Sabergale Academy saja,”
“Oh, gitu ya, terus, bagaimana kita ke sana?”
“Hm, bagaimana ya?”
“Jangan main-main,”
“Ahaha, oh ayolah, kau memang tak bisa diajak bercanda,”
Mereka berjalan menusuri trotoar, menuju sebuah kompleks perumahan dengan dinding-dinding beton sebagai pembatas setiap rumah. Megan membimbing Kaito menuju sebuah tempat yang sama sekali asing. Hingga mereka sampai di sebuah jalan buntu, hanya ada sebuah tembok.
“Hei, apa ini? Hanya jalan buntu,” Keluh Kaito.
“Diam dan lihatlah,”
Raut wajah Megan berubah menjadi serius. Ia mengangkat tangan kanannya, mengarahkan telapak tangannya ke tembok yang kosong di depannya. Pusaran angin timbul di sekeliling telapak tangan Megan, seperti efek yang muncul dari sebuah kekuatan supernatural. Ukiran-ukiran bermunculan di tangan Megan. Bersinar seperti mengaktifkan sebuah sistem tertentu.
“Magic Skill : Teleport!”
Zuuung.
Dan sepersekian detik kemudian, sebuah lubang hitam besar muncul di atas tembok beton polos yang ada di hadapan mereka.
“Woaaa,”
Kaito melihat dengan kagum—sekaligus heran dan kaget, benar-benar sesuatu yang mustahil tapi nyata.
“Ayo masuk, sebelum ada yang melihat,”
Ucap Megan dan segera melompat ke lubang itu dengan tegas. Kaito mengikutinya dan ikut melompat bersama barang bawaannya.

“Uwaaa!”
Kaito berteriak dan terlompat jatuh keluar dari lubang yang tadi ia lewati.
“Bangunlah, lihat kita sudah sampai di gerbang,” Kaito menoleh pada perempuan yang berdiri di sampingnya, ternyata Megan tidak jatuh.
Kaito bangun dari posisi jatuhnya dan melihat ke depannya.
Matanya membulat, sebersit rasa kagum yang selama ini ia pendam naik ke permukaan. Tempat yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan kini tepat berada di depan matanya. Seperti mimpi. Bahkan dari gerbangnya pun sudah terlihat kemewahan dan keelitan dari gedung ini.
Kaito menelan ludah, menyadari bahwa ia telah sampai di gerbang Sabergale Academy. Tapi rasa keraguan yang mati-matian ia singkirkan semalam hadir kembali dan mengisi seluruh saraf kesadarannya. Raut wajahnya menjadi lesu dan penuh pertimbangan.
“Hey, apa yang kau lakukan? Cepatlah! Sebentar lagi akan ada upacara penyambutan. Kita tak boleh ada di sini,”
Perintah Megan membuat pikiran Kaito buyar. Kaito mengerjap dan menghela nafas. Syukurlah, gumam Kaito.
Seuntai senyum menghiasi wajah Kaito. Tanpa ragu lagi ia berjalan perlahan, mengikuti langkah Megan yang membimbingnya masuk ke kawasan Sabergale Academy—tempat semua rahasia tersimpan. Bukan lagi saatnya untuk meragukan keputusan yang telah ia ambil. Sudah saatnya ia melangkah maju dan melihat ke depan.
Dengan penuh percaya diri, Kaito mengikuti Megan menuju gerbang Sabergale Academy dan memantapkan hatinya untuk menyaksikan semua hal baru yang ada di balik tembok raksasa Sabergale Academy. Tepat saat ia melewati gerbang, yang tingginya hampir enam meter, langkahnya terhenti. Kaito menarik nafas cepat, tercekat. Ia telah disambut oleh beberapa murid dari Sabergale Academy, yang membuatnya salah tingkah dan kehilangan kemampuan untuk berbicara. Yah, Kaito tidak bisa menggambarkan situasi saat itu dengan kata-kata, pemandangan yang... aneh. Mungkin itu akan terlihat normal jika ia tidak berada di sebuah sekolah SMA elit dengan segala fakta tersembunyinya. Tapi yang Kaito lihat adalah beberapa murid yang terlihat normal dengan seifuku yang juga normal. Seifuku abu-abu dengan dasi berwarna biru. Bagian luarnya dilapisi jas biru muda dengan garis pinggir biru tua. Terlalu aneh untuk sebuah sekolah khusus yang dirahasiakan, karena ia sama sekali tidak melihat perbedaan mereka dengan murid-murid di sekolahnya yang lama.
Kaito mengangguk hormat ke beberapa murid yang tersenyum ramah padanya. Harus ia akui ini adalah permulaan yang menenangkan, karena sebelumnya ia telah membayangkan suasana tegang yang mungkin akan ia hadapi saat melewati gerbang Sabergale Academy.
“Megan-san! Wah jadi ini murid baru itu?”
Kaito mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang memanggil nama Megan. Ia adalah seorang laki-laki yang memiliki tubuh cukup tinggi. Rambut kuning panjangnya dibiarkan berantakan di atas kepalanya dan berkibar-kibar selama ia berlari kecil menuju Megan. Menggambarkan sifatnya yang kalem dan ramah. Wajahnya memiliki garis rahang yang tegas dan senyum manis yang dihiasi lesung pipit. Bola matanya berwarna biru terang seperti langit. Ia mengenakan seifuku-nya dengan jas yang dibiarkan terbuka, melambai-lambai selama ia berlari kecil. Megan menoleh dan seulas senyum menghiasi wajah manis Megan.
“Ya, ini murid baru yang aku rekrut dari Akihiko Gakuen. Kau ke sini untuk melihatnya, Yukio?”
“Tentu, karena bagaimanapun dia akan jadi teman kita semua untuk ke depannya. Oh ya, bagaimana dengan kamar asramanya? Sudah ada? Dengan siapa?”
“Sudah, itu sudah ditentukan oleh Guardians of Sword. Ia akan sekamar dengan Stieghart Marcus,”
“Stieg?”
Terdapat nada ragu dan bingung di ucapan Yukio.
“Ada apa?”
“Stieg...” Megan merasakan suara Yukio sedikit bergetar, dan melanjutkan, “Dia mati seminggu yang lalu. Dia ditemukan tidak bernyawa dengan satu tusukan pedang yang menembus tubuhnya, di West Hall,”
“Ap, apa?! Ti, tidak mungkin.... Apa yang terjadi?!”
“Aku tidak tahu, sepertinya investigasi lanjut dari kasus itu tidak diumumkan. Aku berpikir mungkin ini kasus besar yang melibatkan Guardians of Sword, karena itu sangat tertutup. Ketua dari tim investigasi, Nathaniel Crosser, hanya memberitahu kita bahwa penggunaan pedang diizinkan dan kita harus selalu mengaktifkan signer kita dimana pun kita berada,”
Megan terlihat syok dan terpukul. Keadaan Sabergale Academy semakin memburuk, diambang kehancuran. Tubuh Megan gemetar, karena rasa takut dan amarahnya, mendengar berita yang baru ia dengar. Selama ia di Akihiko Gakuen, informasi dari Sabergale Academy tidak dibocorkan kepadanya yang sedang bertugas. Ini membuatnya kesal. Kesal karena informasi sepenting ini baru ia ketahui sekarang.
“O, oi, maaf, sepertinya kalian sedang berdiskusi hal yang serius, tapi bagaimana kalau mengantarkanku dulu untuk ke wilayah Sabergale Academy ini?”
Megan dan Yukio mengerjap, seperti telah ditarik kembali untuk menghadap pada kenyataan. Megan kembali teringat pada alasan sebenarnya ia kembali ke Sabergale Academy.
“Ah, gomen ne Kaito-kun. Aku sampai lupa pada posisimu sekarang,” Ucap Megan diiringi tawa meminta maaf.
“Lebih baik kau mengantarnya ke kamarnya dulu. Lalu kita bisa bicarakan ini lagi. Aku tunggu di CafĂ©,” Yukio menepuk pundak Megan.
“Oke,”
Yukio pun pergi seraya melambaikan tangan. Meninggalkan Megan dan Kaito.
“Nah, ayo, kita ke tempat yang akan jadi kamarmu,”
Megan kembali menunjukkan jalan kepada Kaito. Kaito menurut dan mengikuti langkah Megan, mengikuti di belakangnya.
“Hei, tadi itu siapa?” Kaito bersuara, berusaha mencairkan suasana tegang yang tiba-tiba muncul di antara Megan dan Kaito.
“Oh, namanya Yukio Shirota. Dia juga seorang sword dancer. Bahkan dia adalah kakak kelasku. Dia orang yang berbakat, sekarang ini dia telah mencapai level 5 meskipun usianya masih muda,” Megan memulai ceritanya.
“Hoo, tapi aku masih tidak mengerti. Apa itu sword dancer? Dari mana asal pedangku waktu itu?”
Sword dancer adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menarik keluar pedang dari dalam tubuhnya. Pedangmu adalah dirimu. Itu mencerminkan dirimu yang sebenarnya,”
Kaito mengedipkan mata berkali-kali, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia masih tidak bisa mempercayai apapun yang Megan katakan. Megan melirik ke arah Kaito dan menghela napas.
“Yah, nanti kau juga akan mendapatkan pelajaran mengenai sword dancer,”
“Oh...” Kaito menggumam.
Keheningan yang mengisi langkah mereka membuat Kaito tertekan. Megan—lebih tepatnya Mizuki—yang selama ini ia kenal telah menjadi orang asing di matanya. Kini ia merasa ialah yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ini, sekolah ini, ataupun Megan, meskipun ia telah masuk dan bahkan menjadi salah satu dari Sabergale Academy. Kaito kembali berusaha membuka percakapan.
“Oh ya, Megan, di sini semuanya adalah sword dancer, tapi mereka memiliki level masing-masing? Bagaimana cara menentukan level seseorang? Dan aku ini level berapa?”
“Oh ya, kau belum tau ya, semua sword dancer memiliki level. Dimulai dari level 0 hingga 10. Selain itu sword dancer juga dikelompokkan berdasarkan pedangnya. Secara umum pedang sword dancer memiliki ciri yang hampir sama. Untuk orang baru seperti kau, seharusnya masih level 0. Tapi kita belum tahu jika belum diukur. Nanti kau juga akan tahu bagaimana cara menetukan level seorang sword dancer,” Jelas Megan panjang lebar.
“O, oh,”
Kaito hanya menggumam menandakan bahwa ia mendengarkan meskipun ia masih tidak mengerti.
Megan membalikkan badan dan tersenyum.
“Yah, kau tidak harus mengerti sekarang. Lama kelamaan kau juga akan mengerti sendiri. Seiring kau bersekolah di sini,”
Kaito tersenyum tipis.
“Sepertinya kita telah sampai, kau bisa lihat gedung di sana. Itulah asramamu,”
Megan menunjuk pada gedung besar bercorak. Warna dan bentuknya mengesankan gedung yang elegan dan megah. Kaito terpana, entah untuk yang ke berapa kalinya, dengan gedung-gedung di wilayah ini. Ia mulai berpikir berapa dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung megah sebanyak ini. Pemilik Sabergale Academy pastilah sangat kaya sehingga bisa membangun gedung-gedung di sini tanpa bantuan dari pemerintah. Yah, bagaimanapun Sabergale Academy adalah sekolah sangat rahasia yang bahkan pemerintah pun melepaskan tanggung jawab mengenai sekolah itu. Jadi tidak heran jika penduduk sekitar tidak bisa menolak keberadaan Sabergale Academy hanya dengan alasan iri.
“Jangan bengong saja! Lebih baik kau masuk dan melihat-lihat dalamnya. Kamarmu ada di lantai 3, kamar nomor 315. Kudengar pemandangan dari kamar itu sangat bagus karena bisa melihat matahari terbenam,”
“Benarkah?” Kaito menjawab dengan acuh. Ia malah terbenam dengan pandangan kagum pada desain dari gedung yang akan ia tinggali. Kaito masuk ke dalam gedung tanpa sedikit pun melepaskan pandangannya pada ukiran-ukiran sempurna yang terpahat di setiap tembok luar gedung asramanya. Matanya mengerjap lagi ketika melihat suasana dalam gedung berukir itu. Tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi. Suasana yang pas untuk sebuah asrama. Di bagian lobby terdapat sofa empuk yang berbahan kulit dengan bulu-bulu, terlihat mahal. Lampu gantung terbuat dari kaca yang biasa ada di sebuah pesta dansa menggantung di langit-langit lobby. Tepat di seberangnya terdapat meja resepsionis seperti hotel. Di situ tempat penitipan barang yang diantarkan kepada salah satu murid asrama. Megan dan Kaito menghampiri meja resepsionis dan disambut oleh seorang wanita setengah baya yang tersenyum ramah pada mereka.
“Nona Megan? Ada apa datang kemari?”
Sepertinya Megan dan orang itu telah mengenal satu sama lain.
“Aku membawa teman baru. Aku yang merekrutnya, dia pemula. Dia akan tinggal di asrama ini, kamar 315,”
“Oh, tunggu biar aku cek terlebih dahulu,”
Wanita itu kemudian beralih kepada sebuah layar setipis kaca bening dan mulai mengutak atik layarnya seperti sebuah komputer full-touch.
“Ah, ya benar kamar itu kosong sekarang. Pemilik kamarnya sudah tidak menempatinya,” Ujar sang resepsionis.
“Baik, aku akan mengantarnya ke kamarnya sekalian membantunya membereskan barang-barangnya,”
“Ok, maaf...” Si resepsionis menengok ke arah Kaito, menunjukan raut wajah bertanya-tanya mengenai namanya.
“Ah, oh, Kaito. Kaito Kakihara,”
“Oh, Kakihara-san, bisa kau ulurkan tangan kirimu?”
Walau bingung, Kaito mengulurkan tangan kirinya.
Sang resepsionis menjulurkan jarinya ke atas punggung tangan Kaito. Dia mulai membuat gerakan-gerakan berliuk, seolah-olah sedang menggambar di atas tangan Kaito. Jari sang resepsionis terhenti, diikuti bersinarnya tangan Kaito sesuai dengan bentuk gambar yang dibuat di punggung tangannya. Kaito terkejut dan hampir saja dengan reflek ingin menarik tangannya, namun berhasil ia tahan.
“Magic Skill : Key!”
Cahaya di tangan Kaito meredup dan menghilang digantikan dengan pola aneh di sepanjang jari tengah tangan kirinya.
“Apa ini?” kaito mengangkat tangan kirinya untuk melihat pola di jari kirinya lebih jelas.
“Itu kunci bagimu untuk masuk kamar. Dengan ini hanya kau yang bisa masuk ke kamarmu sendiri,”
Sekali lagi Kaito terpana dengan apa yang baru ia ketahui dan ia lihat. Sebelumnya ia tak pernah percaya dengan kemampuan semacam itu sampai setelah ia melihat bahwa itu nyata. Kaito memandang tangan kirinya dengan terpana.
“Tapi bagaimana cara kerjanya?” Tanya Kaito.
“Kau tinggal mengarahkan simbol itu ke panel bening yang ada di kamarmu. Dan pintu akan secara otomatis terbuka,”
“Woaa, sugoi[2],”
“Ayo kita ke kamarmu, aku tidak punya banyak waktu,” Megan menarik baju Kaito dan menyeretnya menuju lift.
Kaito memasuki sebuah lift luas berlapis kaca bening, sehingga ia bisa melihat pemandangan di sekitarnya atau kecepatan lift tersebut bergerak. Ia memperhatikan Megan mengoperasikan lift tersbebut. Kaito memiringkan kepalanya, tidak ada satu pun tombol di samping pintu lift. Hanya sebuah panel bening—sama seperti yang digunakan si resepsionis. Megan menarikan jarinya di atas panel bening itu, membentuk sebuah pola asing yang sama sekali tidak Kaito mengerti. Setelah jari Megan berhenti bergerak, lift mulai mengoperasikan perintah Megan dan bergerak naik. Jadi harus menghafalkan beberapa simbol untuk mengoperasikannya, pikir Kaito.
Lift mereka bergerak cepat, terlihat dari pemandangan di balik kaca bening lift yang bergerak turun dengan cepat. Sehingga tak butuh waktu lama bagi Kaito dan Megan untuk sampai di lantai tiga. Lift berbunyi, bunyi asing yang baru didengar Kaito. Bukan bunyi “ting” yang biasa terdengar di kebanyakan lift. Tapi justru bunyi piano klasik yang tersusun atas empat nada secara beruntun. Sebuah kejutan kecil yang membuat Kaito tersenyum.
Megan keluar dari lift, diikuti Kaito, dan selang beberapa detik pintu lift kembali menutup. Mereka berjalan di sepanjang lorong lebar yang berlapiskan karpet merah. Dinding-dindingnya dibungkus dengan wallpaper berwarna soft, membuat suasana lorong terlihat tenang. Kaito tidak bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melihat dinding-dinding, lukisan-lukisan, dan lampu-lampu yang menghiasi sepanjang lorong.
Setelah beberapa pintu mereka lewati, Megan berhenti pada sebuah pintu berwarna silver dengan gagang pintu berwarna keemasan. Di muka pintu terdapat panel bening yang cukup besar yang di bagian atasnya tertulis 315.
“Nah, ulurkan jarimu,”
Kaito pun menurut. Ia mengulurkan kepalan tangannya dan mengarahkan simbol di jari tengahnya ke panel bening itu. Dengan cepat panel tersebut merespon dan menampilkan sebuah kotak bergerak, bertuliskan “loading...” yang berkedip-kedip. Setelah kotak tersebut telah terisi penuh muncul sebuah nama. Nama Kaito, Kaito Kakihara. Dan secara otomatis pintu kamar terbuka.
“Wah, keren,”
Mata Kaito berbinar-binar.
“Oh ayolah, kau ini terlalu banyak terpesona,”
“Memangnya salah? Aku tidak pernah menemukan benda seperti ini di tempatku. Ini pasti teknologi yang canggih,” Ucap Kaito sedikit menggerutu.
Megan tersenyum geli, berusaha menahan tawanya.
“Ya, panel yang dari tadi kau temui itu salah satu teknologi canggih yang telah diciptakan Sabergale Academy di divisi teknologi dan informasi,”
Megan masuk ke dalam ruangan. Kaito pun mengikutinya masuk ke dalam kamar barunya.
“Eh? Jadi Sabergale Academy juga dibagi jadi divisi-divisi?”
“Ya, mereka yang masuk dalam divisi sama saja seperti petinggi. Dan mereka juga sword dancer. Tapi tak semua orang di sword dancer bisa masuk ke dalam divisi-divisi itu. Sebab mereka dipilih berdasarkan kemampuannya,”
“Hoo, kau sendiri? Kau masuk dalam divisi?”
Kaito menurunkan barang bawaannya dan mulai mengeluarkan isinya. Megan ikut membantu mengeluarkan isinya.
“Tidak, aku hanya murid biasa. Tapi Yukio masuk dalam divisi,”
“Oh ya? Divisi apa?”
“Divisi pertahanan,”
“Pertahanan?”
“Ya, dengan kemampuan sword dancer nya, ia sangat berguna dalam divisi pertahanan,”
“Hmm, aku jadi penasaran seperti apa bentuk pedangnya,”
“Yah, nanti juga kau akan lihat,”
Kaito mulai memperhatikan sekeliling. Kamar barunya cukup luas. Dilengkapi dengan pemanas dan pendingin. Ranjang miliknya ada di dekat lemari baju yang besar. Lemari baju tipe geser yang didesain satu paket dengan ruangan itu. Terdapat meja belajar dengan sebuah panel bening tertata rapi di atasnya. Lampu belajar juga berdiri di atas meja tersebut. TV LCD tergantung tepat di depan ranjang. Tembok bagian belakang TV membentuk lengkungan sebagai tempat masuk menuju kamar mandi. Kamar mandinya memiliki bath tub dan shower. Juga sebuah wastafel besar dengan kaca lebar di atasnya. Toilet duduknya juga didesain mewah. Semuanya dioperasikan dengan panel bening yang sama—termasuk keran, toilet dan shower.
“Kamar yang luar biasa!”
Kaito tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada setiap sudut ruangan. Dia terus memperhatikan kamar barunya, tersenyum puas seakan-akan ialah yang telah mendesain ruang kamarnya.
“Hah, anak ini tak pernah mendengarkan,”
Megan menghela napas dan melanjutkan mengeluarkan barang bawaan Kaito. Sadar akan kondisinya sekarang, Kaito menghampiri Megan dan mulai merapikan barang bawaannya sendiri.
Mereka tak menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membereskan barang bawaan Kaito. Setelah selesai, mereka duduk dalam kebisuan. Tak satu pun memulai pembicaraan. Membuat suasana sedikit... canggung. Menyadari suasana tak mengenakan yang tiba-tiba menyelimuti kamar Kaito, Megan berdiri cepat—terlalu cepat hingga terlihat gelisah.
“Aku ada urusan setelah ini. Kau bisa menghubungiku jika membutuhkan sesuatu. Selama malam ini kau bisa beristirahat atau jalan-jalan keliling wilayah Sabergale. Tapi lagipula matahari sebentar lagi terbenam, jadi lebih baik kau istirahat saja,”
“Um, iro iro arigatou[3],”
Douita[4],”
Megan hendak pergi tapi kemudian berbalik.
“Ah, kau sudah mengerti menggunakan panel itu?” Megan menunjuk pada panel bening yang ada di atas meja belajar Kaito.
“Oh, ya, aku belum mengerti...” Jawab Kaito polos.
“Sebenarnya tidak sulit, kau tinggal coba mengutak-atiknya sendiri. Lama kelamaan juga kau mengerti. Di sini sekolah cukup bawa panel itu, tak seperti sekolahmu yang dulu. Kau harus bawa banyak buku,”
Megan lalu tertawa dan membuka pintu kamar Kaito.
Ja mata ne[5], Kaito-kun,” Megan keluar kamar dan melambaikan tangan. Kaito membalas lambaian tangannya dan perlahan menurunkan tangannya. Ekspresi wajah Kaito yang santai berubah menjadi serius dan tegang.


Yukio menunggu kedatangan Megan di La Girandole Café. Sebuah tempat favorit murid-murid Sabergale di sore hari, menunggu matahari terbenam. Yukio menyesap kopi yang telah ia pesan sebelumnya, dan menghela napas lelah. Yukio menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk di salah satu meja pengunjung café. Ia dapat mencium wangi harum kopi dan cokelat yang kental di ruangan itu, sedikit membuatnya rileks dan santai meskipun otaknya tidak berhenti bekerja.
Yukio menyapukan pandangannya pada satu-satunya cafĂ© di Sabergale Academy. Tidak banyak pengunjung pada sore ini. Yukio menoleh pada salah satu jendela di dalam cafĂ©. Pandangannya menerawang jauh, tidak terfokus pada posisinya saat itu. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan dan pendapat mengenai keadaan Sabergale Academy akhir-akhir ini. Meskipun ia tahu bukan hanya ia yang memikirkan keadaan Sabergale sekarang—tapi hampir semua murid Sabergale. Mereka tak mau mati konyol untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Dengan kematian Stieghart, maka jumlah korban sudah mencapai sembilan orang. Dan di antara mereka bersembilan, tak ada hubungan yang memungkinkan untuk menentukan motif sang pembunuh. Mereka benar-benar dipilih secara acak. Walaupun jangkauan level yang diincar adalah level 0 sampai 4, itu hanya memberikan petunjuk bahwa mungkin pelakunya adalah orang yang memiliki level 5 ke atas. Menganalisa murid berlevel 5 ke atas bukanlah hal mudah. Tapi hal itu sudah dilakukan dan tidak ada sesuatu yang ditemukan.
“Yukio,”
Suara menyapa dari belakangnya membuat pikirannya kembali pada tubuhnya sekarang, di café.
“Oh, Megan, cepat juga kau,”
“Yah, tak butuh waktu lama bagiku untuk merapikan kamarnya,”
Megan duduk di hadapan Yukio dan memesan segelas cappucino.
“Nah, bagaimana dengan kelanjutan ceritamu?”
Raut wajah Yukio berubah menjadi lebih serius. Dia membetulkan posisi duduknya, memberikan kesan tegang pada suasana di antara mereka.
“Kau, seperti yang sudah kau ketahui, kejadian-kejadian yang terjadi di Sabergale sekarang-sekarang ini memang sangat ganjil. Aku juga tidak mengerti kenapa hal semacam ini bisa terjadi di sekolah kita yang merupakan anak-anak terpilih. Jadi aku menyimpulkan mungkin saja pelakunya adalah salah seorang petinggi di sini yang menjadi mata-mata organisasi pemerintah. Bisa jadi mereka melihat bahwa sekolah ini mengganggu—“
“Tapi itu terlalu jauh, aku tidak yakin hal itu mungkin. Kau juga tahu bahwa sekolah ini ada di bawah naungan pemerintah—walaupun mereka tak tahu apa-apa tentang sekolah ini, jadi buat apa mereka membunuh anak-anak yang memang sengaja mereka pelihara?”
“Justru itulah, mereka mendirikan sekolah macam ini mungkin awalnya hanya untuk sekolah biasa. Tapi setelah dipimpin oleh kepala sekolah pertama Sabergale, keadaan berubah. Sekolah ini jadi sangat tertutup dengan pemerintah, kau tahu itu. Karena sudah di luar batas kewajaran, mungkin saja mereka ingin menyingkirkan kita perlahan-lahan dengan membunuh rasa saling percaya kita,”
So, sore wa[6]...”
Air wajah Megan seketika berubah pucat, dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dan ia tahu itu adalah kemungkinan terburuk dari kasus pembunuhan ini. Megan hanya bisa terdiam dan terpaku. Memikirkan segala hal yang ada di benaknya. Terlalu banyak hal yang dipikirkannya dan membuatnya termakan oleh imajinasinya sendiri.
Melihat Megan yang hanya terpaku, Yukio jadi tersadar dengan segala ucapan yang telah diceritakannya. Raut wajah Yukio kembali melunak dan merilekskan posisi duduknya.
“Yah, walau aku tahu ini hanya hipotesisku saja, tidak ada bukti yang cukup memadai untuk membuktikan hipotesisku. Jadi ini belum tentu benar,”
Megan tetap terdiam. Keheningan mencekam menyelimuti mereka, membuat suasana semakin tegang.
“Me, megan?”
Megan mendadak berdiri dari tempat duduknya dengan wajah tertunduk. Seulas senyum aneh tersungging di wajahnya.
“Kau terlalu banyak mengetahui hal-hal. Aku memang salah membiarkanmu untuk sementara waktu karena aku pikir kau tidak akan berbahaya,”
“A, apa? Apa yang kau maksud?”
Dengan gerakan gesit, Megan mengaktifkan Signernya dan mengeluarkan pedangnya. Yukio tersentak kaget dengan reaksi aneh Megan. Dengan satu gerakan pasti, Megan menebas dada Yukio hingga dia terdorong ke belakang. Yukio berteriak kesakitan dan menahan aliran darahnya yang memancar melalui luka sabetan di dadanya.
“Kau, siapa kau?! Aku tahu kau bukan Megan. Aku sudah mengetahuinya dari awal kau duduk, tapi aku membiarkan kau karena aku ingin tahu apa tujuanmu. Tapi aku tak menyangka kau akan langsung menyerangku,”
“Hahaha! Aku juga sudah tahu kau menyadarinya. Tapi setelah menunjukkan wujud asliku, tak mungkin aku membiarkan kau tetap hidup,”
Kemudian, cahaya terang menyelimuti Megan palsu dan mengubah wujud Megan.
“Magic Skill : Transform, Undo!”
“Transform?! Itu kan sihir kelas atas yang hanya bisa digunakan sword dancer level 7 ke atas!”
Dengan tatapan tercengang, Yukio memperhatikan wujud Megan yang telah berubah menjadi sebuah sosok asing yang sama sekali tak Yukio kenal.
“Kau, siapa kau?”
“Siapa? Kau takkan tahu, dan takkan pernah tahu. Karena aku akan mengakhiri hidupmu sekarang!”
Perempuan asing itu melangkah dan sepersekian detik kemudian ia telah berada dekat, sangat dekat, dengan Yukio. Yukio tak punya celah untuk menghindar. Di tambah luka di dadanya masih terus mengalirkan darah segar.
Shimata[7]!”
Tapi kemudian, pedang perempuan asing yang diarahkan ke Yukio itu tiba-tiba terlempar dengan suara tangkisan yang nyaring. Pedang itu terlepas dari genggaman sang pemilik dan berdenting di atas lantai café. Yukio menunjukkan ekspresi kaget sekaligus leganya ketika melihat bahwa Megan lah yang melindunginya dari serangan perempuan asing itu. Dengan ekspresi yang datar, perempuan asing itu terdorong mundur dan berdiri tegak menghadap Megan yang melontarkan ekspresi marah.
“Ah, Megan Frost. Apa yang kau lakukan di sini? Ternyata perhitunganku salah. Kalau kau tidak buru-buru ke sini, mungkin yang akan kau lihat adalah mayat dari teman dekatmu ini,”
Rahang Megan menegang, tangannya menggenggam pedang dengan erat. Megan berdiri tegak dan mengarahkan pedangnya pada perempuan asing itu.
“Aku memang punya firasat buruk, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa firasatku akan tepat. Mari kita selesaikan ini,”
“Ah, tantangan yang menarik, tapi sayang sekali untuk sekarang ini aku tidak bisa melayanimu. Misiku adalah membunuh Yukio Shirota. Jika itu tidak bisa dilakukan, aku hanya perlu kembali,”
Megan hanya terpaku di tempatnya, mengeratkan pegangan pada pedangnya. Entah kenapa ia menjadi takut. Takut untuk menyerang, takut terbunuh karenanya. Dan yang paling ia takuti adalah kehilangan teman dekatnya karena ketidak becusan ia dalam bertarung. Keraguan menyelimutinya, mengakibatkan tubuhnya sedikit bergetar.
“Magic Skill : Teleport,”
Perempuan asing itu kemudian pergi dengan senyum kemenangan yang angkuh menghiasi wajahnya yang putih pucat.
Megan menurunkan pedangnya, dan menghentikan getaran di tubuhnya. Ia berbalik badan dan menyadari bahwa Yukio sudah tersungkur di lantai. Pendarahannya semakin memburuk, nafas Yukio tersengal-sengal karena kekurangan darah.
“Yukio! Bertahanlah!”
Megan duduk di sebelah Yukio dengan terburu-buru, menempelkan telapak tangannya pada dada Yukio.
“Magic Skill : Heal!”
Cahaya silau menyinari Megan dan Yukio. Megan berkonsentrasi penuh, mengumpulkan tenaga-tenaganya untuk menyempurnakan kemampuannya. Beberapa detik kemudian, Yukio sudah bisa bernafas dengan normal, luka di dadanya pun mulai menutup. Megan menghela napas lega. Lalu, Yukio membuka matanya.
“Yukio! Kau tidak apa-apa?” Megan menghentikan penyembuhan dan mendekatkan dirinya pada Yukio yang tengah berbaring di lantai cafĂ©.
“Aku baik-baik saja, arigatou ne,” Yukio memaksakan senyum tipis untuk meyakinkan Megan bahwa ia bisa bertahan.
“Syukurlah, aku akan meneruskan penyembuhan sedikit lagi,”
“Tidak perlu, itu hanya akan menghabiskan staminamu,” Yukio berusaha duduk perlahan.
“Tapi, kau juga belum bisa duduk!” Protes Megan.
“Aku bisa, tenang saja, luka seperti ini tidak sebanding dengan waktu itu,”
Megan terdiam, mengerti maksud dari itu yang Yukio sebutkan.
“Nah, ayo sebaiknya kita pergi dari sini sebelum kita diserang lagi,”



[1] Tu, tunggu sebentar.
[2] Hebat.
[3] Terima kasih atas segalanya
[4] Sama-sama
[5] Sampai ketemu lagi
[6] I, itu...
[7] Celaka!

Sabergale Academy - BAB 1

Derap langkah ringan terdengar dari sepanjang lorong, cepat dan tergesa-gesa. Entah apa yang membuatnya begitu terburu-buru sehingga harus berlarian di sepanjang lorong yang panjang. Tapi dibalik langkah yang terdengar gelisah itu juga terdengar sedikit tawa bahagia yang tertahan. Seorang anak kecil berlari dengan bahagia, menuju sebuah ruangan di ujung lorong lantai atas. Tepat setelah mencapai tujuannya, ia berhenti sejenak untuk mengatur tempo nafasnya. Tanpa ragu, anak kecil itu memegang gagang pintu yang tingginya sama dengannya dan membuka pintu itu dengan satu gerakan cepat. Pintu terbuka lebar, cahaya lampu lorong menyinari ruangan yang ternyata gelap itu.
Onii-chan[1]!! Ohayou[2]!”
Anak kecil yang masih berdiri di ambang pintu, tersenyum bahagia seraya lari memasuki gelapnya ruangan. Ia melompat ke sebuah benda persegi besar, yang ternyata sebuah kasur. Kesal karena tak ada reaksi, anak kecil itu menarik selimut dari rangkulan seseorang yang tengah tertidur di dalamnya lalu mendekat ke wajahnya. Posisi tidurnya yang miring membuat anak kecil itu bisa langsung berhadapan dengan telinganya.
Onii-chan! Ayo bangun!”
Laki-laki yang daritadi dipanggil dengan Onii-chan itu tersentak dan bangun dari tidur lelapnya. Ia memutar kepalanya untuk melihat siapakah orang yang berani membangunkannya. Mendapati adiknya sedang tersenyum bahagia di atasnya, ia mengurungkan niat untuk mengamuk dan perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengacak-acak rambutnya lalu menguap.
Ohayou, Suzu,”
Anak kecil yang dipanggil Suzu itu tertawa riang karena telah berhasil membuat kakaknya bangun, sementara sang kakak hanya bisa tersenyum. Puas dengan hasil kerjanya, Suzu turun dari ranjang kakaknya dan berlari menuju pintu kamar. Tapi ia berhenti tepat di ambang pintu dan berbalik.
Onii-chan, sarapannya telah siap,”
“Ya, terima kasih, Suzu,”
Anak perempuan yang bernama Suzuriha itu segera keluar dengan nada senang. Sang kakak turun dari ranjangnya dan merenggangkan otot-otot kakunya. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat pantulan bayangannya di cermin. Ia tersenyum dan memiringkan sedikit kepalanya seperti sedang berpikir.
“Yah, saatnya memulai hari. Mari kita lihat apa yang seorang Kaito Kakihara bisa lakukan hari ini?”
Pemuda itu pun keluar kamar, menuruni tangga dan menyapa keluarganya.


Cuaca hari itu cukup bagus. Matahari bersinar terang dengan hembusan angin dingin yang menyejukkan. Awal musim gugur yang indah. Tak terlewatkan pohon momiji yang mulai memerah di seluruh penjuru kota. Kaito berjalan menyusuri jalan setapak menuju sekolahnya sekaligus menikmati suasa musim gugur yang selalu ia sukai. Daun-daun berguguran selama ia berjalan, menambah keindahan jalanan di musim gugur.
Tepat saat itu ia menoleh ke arah danau di bawah jalan. Di seberang sana, jauh dari tempatnya berdiri sekarang, ia sudah bisa melihat bangunan megah yang tak asing lagi bagi dirinya. Sekolah swasta ternama yang sangat elegan—tapi tak seorang pun yang pernah tahu apa yang ada di dalamnya.
Sabergale Academy.
Sekolah SMA bagi para pemilik uang, dan anak-anak kaya manja yang hanya membutuhkan fasilitas—setidaknya itulah rumor yang beredar di masyarakat. Sekolah itu sangat luas, dinding-dinding besar dan kokoh mengelilingi dan melindungi seluruh bangunan sekolah. Tidak heran jika rumor-rumor tak pantas cepat beredar di masyarakat meskipun mereka sama sekali belum pernah memasuki atau mendekati daerah itu. Dilihat dari manapun, sekolah itu tentu membuat iri murid sekolah lain yang hanya bisa duduk di atas bangku kayu, mengenakan seragam lusuh dengan fasilitas sekolah yang seadanya. Tapi tidak ada yang berani menentang keberadaan sekolah itu, karena, lagi-lagi rumor mengatakan, sekolah itu memiliki sebuah rahasia yang tidak bisa diketahui masyarakat luas kecuali jika menjadi salah satu bagian dari mereka. Tidak ada informasi sedikit pun yang keluar dari Sabergale Academy, terkunci dan terkubur dalam-dalam.
“Kakihara-kun!”
Seketika, lamunan Kaito buyar dan memaksanya untuk melihat ke arah sumber suara.
“Mizuko-san?”
Mizuko berlari kecil dan melambaikan tangannya pada Kaito. Mizuko adalah teman sekelas Kaito. Dia seorang yang ceria dan perhatian. Memiliki tubuh langsing dan rambut panjang berwarna hitam yang selalu ia biarkan terurai. Poninya berterbangan selama ia berlari kecil. Sekarang mata cokelatnya yang selalu memancarkan rasa peduli sedang menatapnya dengan penuh keceriaan.
Ohayou,”
“Oh, ohayou,”
“Kenapa? Sepertinya aku melihat kau melamun, melihat ke arah Sabergale Academy?”
Iie, betsu ni[3],”
“Jangan bilang kau mulai tertarik dengan sekolah itu? Oh atau kau mendapat informasi mengenai sekolah itu?!”
“Jangan bercanda, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti itu. Yang kita dengar cuma rumor,”
“Yah, tapi tidak ada salahnya untuk mencari tahu kebenaran, kan?”
“Sayangnya aku tidak cukup tertarik untuk mencari tahu hal sekecil apapun mengenai sekolah itu. Bagiku duduk di atas meja kayu dan mengenakan seragam lusuh sudah cukup,”
“Benarkah?”
“Ya,”
Namun Kaito tahu itu tidak sepenuhnya benar. Ia memang sedikit, walau hanya sedikit, penasaran dengan Sabergale Academy. Siapapun akan terpesona dengan bangunan megah itu walau hanya melihatnya dari luar. Bagi mereka yang orang biasa, SGA adalah tempat para orang elit, orang terpilih. Itulah pandangan mereka, sama seperti Kaito. Tapi jauh di dalam hatinya, ia ingin tahu apa yang dirasakan para murid SGA. Apakah mereka memang seorang yang elit dengan kehidupan yang glamour. Atau sebaliknya, mereka hanya orang-orang biasa yang bersekolah seperti biasa di sekolah yang berbeda. Pertanyaan itu memang tak pernah terjawab berapa kalipun ia memikirkannya.

Kaito menarik tangannya ke atas, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia melihat pemandangan kelasnya yang hampir sepi. Semua murid sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing, tapi Kaito tidak beranjak dari tempat duduknya untuk pulang. Ia tidak tahu kenapa ia tidak segera pulang, ia hanya ingin berada di sekolah lebih lama sedikit. Kaito memangku wajahnya di atas tangan kanannya dan melirik ke arah jendela yang mengarah ke gerbang sekolah. Sudah tidak ada murid yang lalu lalang keluar sekolah, sepertinya tinggal ia yang masih ada di sekolah. Saat pikiran untuk pulang terlintas, ia melihat seorang siswi sekolahnya berlari, bukan lari yang disengaja karena olah raga atau sejenisnya. Tapi lari yang ketakutan. Seperti dikejar sesuatu, tapi apa? Ia tak bisa melihat apa yang mengejar siswi itu. Kaito mendekatkan kepalanya ke jendela untuk melihatnya lebih jelas, dan menyipitkan matanya untuk mengubah fokus matanya. Terlihat, ia bisa melihat sesosok manusia berjubah merah. Naluri membuatnya tersentak kaget saat melihat sosok berjubah merah itu membawa sebilah pedang.
“Oi, oi, cosplayer macam apa dia. Ia seperti membawa pedang sungguhan—“
Belum selesai Kaito berbicara, si jubah merah tanpa ragu menyerang siswi sekolahnya dengan satu ayunan. Ia tak bisa menghentikan mulutnya untuk berteriak, dan spontan berlari turun ke bawah untuk menghentikan orang aneh berpedang itu. Otak Kaito terus berputar memikirkan berbagai cara untuk menghentikan orang berjubah itu. Ia tahu bahwa orang amatir yang bertangan kosong tak akan pernah menang melawan pria berpedang yang terlihat sangat terlatih.
“Yang benar saja, mana ada seorang cosplayer menyerang orang lain?!”
Kaito menuruni tangga dengan tergesa-gesa hingga berkali-kali hampir terpeleset. Memang merepotkan memiliki kelas yang berada di lantai tiga. Inilah yang selalu dikeluhkan Kaito tentang sistem kelas di sekolah ini. Walaupun ia tahu bahwa masih ada lagi murid yang di lantai empat atau lima.
Pintu sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kaito mempercepat langkahnya meskipun air keringatnya sudah mulai menetes. Ia mendorong pintu sekolah dengan kasar dan memandang ke luar sekolah. Sekarang ia sudah tidak melihat orang berjubah merah itu. Tapi ia terus berlari, mencari-cari dimana mungkin mereka berada. Bagian belakang sekolah yang menjadi tempat parkir sepeda adalah tempat yang sepi, mungkin mereka di sana, pikir Kaito. Entah kenapa ia terus berlari, meskipun ia bisa merasakan kakinya sudah meronta-ronta untuk berhenti. Tapi ia yakin bahwa yang tadi ia lihat bukan halusinasi, dan ia yakin perempuan itu dalam bahaya. Tidak salah lagi, lari semacam itu bukan sesuatu yang bisa diperankan dengan mudah. Dan ia yakin perempuan itu tidak sedang berakting.
Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain terus berlari dan berusaha menemukan perempuan itu. Seluruh penjuru sekolah telah ia kunjungi, tapi hasilnya nihil. Ia tidak bisa menemukan perempuan itu dimana pun. Perlahan, langkahnya memelan dan berhenti. Tubuhnya sudah basah dengan keringat, dan ia tidak menemukan apa pun. Kaito bersandar pada sebuah dinding dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Nafasnya tak teratur karena terlalu memaksakan untuk berlari. Jantungnya juga bekerja terlalu berat sehingga berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Aku yakin... aku benar-benar melihatnya. Aku tidak berhalusinasi,”
Kaito yang merasa kecewa bergumam pada diri sendiri. Setelah tempo nafasnya kembali seperti semula, ia menghela nafas dan berusaha melupakannya. Dengan berat hati ia berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya, untuk mengambil tas dan pulang. Saat melewati tikungan, Kaito ditabrak sesuatu yang keras. Keseimbangannya runtuh hingga ia jatuh bersamaan dengan yang menabraknya.
“Aw! Apa-apaan ini?!”
Kaito berteriak dan mengaduh kesakitan. Tapi setelah ia perhatikan lagi, ternyata yang menabraknya adalah seorang siswi perempuan yang tadi ia lihat dari lantai atas.
Anata! Daijoubu ka?[4]” Tanya Kaito dengan nada was-was.
A, atashi wa.. wakaranai. Tasukete! Tasukete kudasai![5]
Pinta siswi itu dengan nada ketakutan. Kaito sadar bahwa yang ia maksud adalah orang aneh berjubah merah yang membawa pedang. Kaito berdiri dan memutar kepalanya. Sudut matanya menangkap sesosok manusia berjubah merah tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan hati-hati Kaito berhadapan dengannya. Si jubah merah berjalan santai ke arah Kaito. Sekilas, pedang yang digenggamnya memantulkan cahaya matahari yang tipis selama ia berjalan. Sementara perempuan tadi sudah pergi ke tempat aman.
“Hei, kau cosplayer, apa yang kau lakukan? Membawa pedang sungguhan ke sekolah dan menyerang seorang siswi. Itu bukan tindakan yang pantas seorang cosplayer lakukan,”
Orang itu berhenti berjalan di jarak dua meter dari Kaito dan hanya terdiam. Kaito tidak bisa menebak jenis kelamin dari lawannya atau melihat seperti apa wajah dan rambutnya. Bagian yang terlihat hanya hidung dan mulut, yang menyunggingkan sebuah senyuman—yang menyiratkan bahwa Kaito sedang dalam bahaya. Jubah merahnya mencegah Kaito untuk menganalisis lawannya. Kaito menjadi gusar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia tahu kalau ia tidak segera mencari jalan maka dialah yang akan dihabisi.
Si jubah merah mengarahkan pedangnya ke Kaito, memasang kuda-kuda dan siap menyerang. Kaito bergetar, ia berkeringat dingin. Tanpa sadar ia menyeret mundur sebelah kakinya.
Seperti tak mau buang waktu lagi, si jubah merah itu menyerang dan mengarahkan pedangnya ke Kaito. Kaito serentak menghindar dan berlari. Ia terus mencoba menghindar karena ia tidak punya apapun untuk melawan. Menghindar saja tak akan menghasilkan apa-apa. Hanya mengulur waktu hingga dirinya kehabisan tenaga dan habislah ia. Ia tahu benar akan hal itu. Dan kemudian,
Crat.
Pedang si jubah merah menyayat lengan kanan Kaito. Darah segar mengucur dan membasahi seragam putih Kaito. Kepanikan dan ketakutan mendadak melanda emosi Kaito. Ia yang tak pernah terlibat dalam pertarungan apapun kini harus bertarung dengan seseorang yang baru ia temui, dengan taruhan nyawa. Si jubah merah tak berhenti mengincarnya. Yang bisa dilakukan Kaito hanya berlari dan menghindar.
Crat.
Lagi-lagi pedang itu menggores bagian tubuh Kaito. Ini buruk. Jika ini terus berlangsung, Kaito bisa benar-benar mati.
Kaito terdesak. Ia mengambil jalan yang salah dan menemukan jalan buntu. Entah kenapa ada bagian sekolahnya yang memiliki jalan buntu.
“Sial, apakah ini akhir dariku?”
Kaito menyerah.
Ia tidak bisa apa-apa lagi sekarang. Hanya bisa menyaksikan orang yang akan mengeksekusinya. Dan melihat benar-benar detik-detik sebelum ia mati.
Akiramenai[6]!
Deg. Sebuah suara, yang entah darimana, mengisi pikiran putus asa Kaito.
Siapa? Pikirnya. Di saat yang bersamaan si jubah merah melompat dan mengarahkan pedangnya pada Kaito, siap merobek tubuh Kaito untuk mengakhiri hidupnya. Tapi seperti mendapatkan semangat baru, Kaito menepis jauh-jauh pikiran pasrahnya terhadap kematian. Ia belum mau mati sekarang, tidak sebelum ia mengetahui siapa lawannya dan apa tujuannya. Ia tidak akan semudah itu menyerahkan nyawanya yang berharga pada orang yang baru saja ia temui.
“Aku tidak akan mati, kau sialan!”
Teriakan yang penuh energi, membangkitkan kemampuan khusus Kaito yang sudah lama terkubur di dalam dirinya. Secara refleks, Kaito mengambil kuda-kuda dan tanpa ragu menarik keluar sesuatu dari telapak tangannya. Sinar terang yang menyilaukan menerangi sekeliling Kaito dan si jubah merah. Si jubah merah terpukul mundur dan berhenti.
Pemandangan yang mengherankan dan mengejutkan terlihat. Kaito berdiri dengan sebilah pedang putih yang memiliki ukiran di bilahnya. Kaito mengangkat pedangnya dan melihatnya sekilas, tanpa ada rasa heran atau terkejut sama sekali.
Tatapan Kaito lurus dan tajam. Mengarah pada si jubah merah tanpa ragu. Dengan satu langkah kilat, Kaito melompat ke arah si jubah merah. Perubahan bentuk mulut si jubah merah menggambarkan ekspresi terkejut darinya dan dengan spontan menangkis pedang Kaito dengan pedangnya. Mereka beradu pedang dengan cepat. Kecepatan yang luar biasa. Terlihat jelas bahwa si jubah merah terdesak dengan serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Kaito. Ini hal yang mengagetkan. Seorang Kaito yang tidak pernah memegang pedang sebelumnya, sekarang malah bertarung melawan orang asing dengan menggunakan pedang.
Adu pedang yang sengit berlangsung cukup lama dan seru. Tak ada satu pun dari mereka berdua yang terlihat mulai menyerah. Tapi dilihat secara kasat mata, Kaito memang unggul dengan semangatnya yang membara. Hingga akhirnya,
Trang.
Pedang si jubah merah terlempar. Dengan cepat Kaito menghalangi leher si jubah merah dengan pedangnya. Seperti hendak mengakhiri nyawa si jubah merah.
“Katakan, kenapa kau ada di sini? Untuk apa kau menyerang perempuan tadi?”
Si jubah merah hanya terdiam. Kebisuan membuat Kaito menjadi was-was. Otak Kaito berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi jika si jubah merah terdiam. Bisa saja si jubah merah sedang memikirkan serangan balik untuknya.
Tapi tak lama, sosok si jubah merah menghilang bersamaan dengan pedangnya yang terlempar. Si jubah merah seakan berubah menjadi debu-debu berkilau tipis yang kemudian hilang tertiup angin. Kaito terkejut dan menurunkan pedangnya. Ia berdiri mematung dan berusaha mencerna apa saja yang terjadi barusan.
“Kerja bagus, Kaito-kun,”
Kaito terkejut dan memalingkan wajahnya ke arah suara. Ia dapat melihat sesosok manusia yang sangat ia kenali.
“Mizuko-san? Apa, apa yang kau lakukan di sini?”
“Bagaimana? Pedangmu bagus kan?”
“Ap, apa? Aku tidak mengerti maksudmu,” Kaito berusaha mencerna dan menangkap maksud dari Mizuko.
“Kau adalah seorang sword dancer,”
Mizuko menunjuk ke arah pedang yang sedari tadi digenggam Kaito.
“I, ini...?”
Ia memandangi tangannya yang masih menggenggam pedang. Kaito terlihat kebingungan. Mizuko hanya terdiam dan menghela nafas.
“Selamat, Kaito-kun. Sekarang kau akan dipindahkan ke Sabergale Academy,”
“Eh....?!”
“Sekarang kau akan mengetahui kebenaran. Sabergale Academy adalah sekolah khusus anak-anak yang memiliki kemampuan sword dance. Sama seperti kau, mereka bisa mengeluarkan pedang mereka dari dalam tubuh,”
“Eh... Ah, apa... maksudmu? Aku tidak dapat mencerna perkataanmu. Apa itu sword dance?” Kaito semakin bingung, bukan karena bahasa Mizuki yang salah, tapi karena memang yang ia bahas adalah topik yang sama sekali tidak pernah Kaito dengar.
Sword dance adalah teknik untuk mengeluarkan pedang dari dalam tubuhmu. Seperti yang barusan kau lakukan. Yang tadi adalah Sword Slayer. Mereka kelompok yang baru-baru ini muncul di sekitar Sabergale Academy. Anggota dan pemimpinnya belum jelas. Markas mereka pun belum diketahui. Yang diketahui hanya tujuan mereka, yaitu menghabisi semua sword dancer. Mulai dari bibitnya hingga yang master,”
Kaito tertegun. Ia mulai berfikir, berusaha mencerna semua ketidak masuk akalan ini. Jika ia bisa tertawa, mungkin ia akan melakukannya sekarang juga. Karena yang ia alami memang sama sekali tidak masuk akal. Seperti ibu peri yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan menawarkan tiga permintaan untuknya. Tapi kalau yang disebut sebagai Sword Slayer memang memiliki tujuan untuk menghabisi sword dancer dari bibitnya berarti sedari tadi si jubah merah itu memang mengincarnya! Bukan anak perempuan yang telah ia tolong. Itu hanyalah pemancing bagi dirinya untuk menunjukkan diri. Karena itu ia tersenyum ketika berhadapan dengan Kaito, seolah-olah umpan yang ia buat telah berhasil memancing sebuah emas yang ia incar.
Tapi sesuatu mengganjal di pikiran Kaito.
“Mizuko, kenapa kau tahu tentang Sabergale Academy? Tidak ada seorang masyarakat biasa yang mengetahui informasi mengenai Sabergale secara detil,”
Kaito memulai interogasinya.
“Ah, ternyata kau sadar juga. Jadi kau memang tak seburuk penampilanmu,”
“Apa?!”
“Bercanda, yah apa boleh buat. Aku juga tidak bisa terus menyembunyikannya. Toh lama kelamaan kau juga akan tahu,”
Kemudian pusaran angin mengelilingi Mizuko. Angin yang cukup kencang untuk membuat debu dan dedaunan terbang menjauh dari pusaran yang dihasilkan Mizuko. Tak lama, angin itu mereda. Pemandangan yang asing dan mengejutkan. Mizuko telah berubah menjadi seorang perempuan cantik yang sangat berbeda dengan yang ia kenal. Meskipun gaya rambutnya tidak berubah, tapi ia memiliki rambut yang berwarna putih keunguan. Ia tidak lagi mengenakan seragam sekolahnya, tapi menggunakan seragam sekolah lain. Seifuku[7] yang selalu membuat semua orang iri sehingga melontarkan tatapan sinis pada pemakainya. Seifuku dari Sabergale Academy. Bola matanya berwarna hijau toska, dipadukan dengan garis alis yang tegas. Menggambarkan dirinya yang kuat.
“Mungkin ini pertama kali kau melihatku seperti ini. Sepertinya aku harus mengulanginya ya. Namaku Megan Frost. Dan aku adalah seorang sword dancer. Salam kenal,” Katanya tersenyum, menghiraukan Kaito yang masih terlarut dalam perubahan Mizuko.
“Ja, jadi sebenarnya selama ini, kau murid Sabergale Academy?” Tanya Kaito pada akhirnya.
“Benar, aku dikirim untuk mencari dan melindungi bibit-bibit sword dancer yang ada di sekolah ini. Tapi sepertinya hanya kau yang dimaksud,”
“Melindungi? Kau tahu aku hampir mati tadi,” Jawab Kaito dengan ketus.
Gomen, gomen[8], aku sengaja membiarkanmu. Karena aku melihat bahwa telurmu sudah matang dan siap dikeluarkan. Maka aku membiarkan kau mengeluarkannya dengan tenagamu sendiri,”
“Mengeluarkan? Maksudmu pedang ini?”
Tanya Kaito, meskipun ia tidak yakin ingin mendengar penjelasannya.
“Benar, setiap sword dancer menyimpan sebilah pedang yang ada dalam dirinya. Jika pedang itu sudah siap untuk kau gunakan, maka dengan sendirinya ia akan keluar. Tentu saja pengeluaran pedang itu membutuhkan perangsang. Karena itu aku membiarkanmu tadi. Selain itu, hanya orang khusus yang disebut sword dancer lah yang dapat mengeluarkan pedang dari dalam dirinya,”
Kaito terdiam. Terlalu banyak hal baru yang ia ketahui dalam waktu yang singkat. Ini membuatnya pusing dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Walaupun ia tahu berusaha seperti apapun ia tak akan bisa terbangun. Karena berdirinya ia di tempat itu menandakan bahwa ini  adalah nyata.
“Aku akan mengurusi kepindahanmu dari sekolah. Kau bersiap-siaplah dan jelaskan apa yang kau perlu jelaskan kepada keluargamu. Mulai besok kau akan tinggal di Sabergale Academy. Aku tunggu di halte bus dekat rumahmu,”
Mizuko, atau yang sekarang bernama Megan, berbalik badan dan pergi meninggalkan Kaito yang masih berdiri mengatung, terhanyut pada yang dipikirkan olehnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Sekarang ia bukan lagi manusia biasa. Ia adalah sword dancer. Orang yang memiliki pedang dan mempunyai kemampuan sword dance.
Kaito menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit sore yang mulai menggelap. Seolah-olah mencari jawaban dari semua ketidakmasuk akalan ini. Dan ia harus berhadapan dengan fakta bahwa kehidupan normalnya akan berubah. Bahwa ia akan meniggalkan garis takdirnya dan menyatu dengan garis baru yang tidak ia kenal. Tapi ia tidak ingin memusingkan hal itu sekarang. Kaito menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran anehnya dan mengembalikkan pedang, yang sedari tadi masih ia genggam, ke dalam tubuhnya. Pedang itu perlahan menghilang bagai debu dan menyatu kembali dengan tubuhnya.
Tidak masuk akal. Semuanya tidak bisa dijelaskan dengan akal. Tapi ini nyata. Kaito harus berhadapan dengan fakta baru dan mungkin nanti ia akan menemukan lebih banyak hal tidak masuk akal yang merupakan fakta tersembunyi di kehidupan barunya nanti.



[1] Kakak
[2] Selamat Pagi
[3] Tidak, bukan apa-apa.
[4] Kau! Kau baik-baik saja?
[5] A, aku tidak tahu. Tolong! Tolong aku!
[6] Jangan menyerah!
[7] Seragam sekolah
[8] Maaf, maaf,