Oke ceritanya gini, gue emang lagi berusaha ngebuat novel. Yaaa, gajauh dari selera gue lah, genre nya action. Jujur aja gue terinspirasi dari SAO, tau ga? Ya yang gatau nanti gue bahas disini, haha tinggal nunggu jam tayangnya aja, nanti juga gue bahas kok!
Berhubungan dengan itu, temen gue ada yang nyeletuk "Kenapa ga diposting di Blog aja?" *Ting* bagai dapet berkah, gue jadi pengen nyobain tuh diupload atau di share ke blog gue yang usang ini. Sebenernya masih ongoing soalnya belum jadi, masih sekitar 53 halaman, fuuufuuuu.. tapi gue mau masukin bagian prolognya dulu aja ya!
Prolog
Dentingan tak
beraturan menggetarkan gelombang suara di frekuensi yang bisa terdengar oleh
manusia normal. Menimbulkan gema bernada tinggi melengking di sebuah ruangan
luas kedap suara. Dentingan, yang entah berasal dari sudut ruangan atau tengah
ruangan, tak kunjung berhenti meskipun telah berbunyi untuk jangka waktu yang
lama. Tidak, bukan sebuah nada intro untuk memulai lagu. Bukan juga suara
pecahnya kaca ruangan atau botol bir. Orang awam manapun akan tahu pasti suara
dentingan itu berasal dari apa. Dan tak dibutuhkan waktu yang lama bagi
siapapun untuk segera menyadari bahwa sebuah “pertarungan” sedang berlangsung.
Begitu bayangan
pertarungan itu mulai muncul di benak, dentingan itu membungkam. Mungkin
kejahatan yang selama ini disembunyikan olehnya telah terungkap, dan tidak ada
jalan lagi baginya untuk melarikan diri. Tapi pada kenyataannya, kejahatan itu bukan
dihentikan. Walaupun ia tahu bangkai busuk yang ia simpan telah menyebarkan
baunya ke rekan seperjuangannya, ia tetap melanjutkan. Sebab berhentinya
dentingan itu merupakan sebuah pertanda mulusnya alur yang telah ia atur. Dan
bahwa ia akan segera maju ke langkah selanjutnya.
Suasana berubah senyap.
Dentingan yang telah mengusik ketentraman gelombang suara telah pergi. Butuh
beberapa menit untuk kembali menetralkan fungsi telinga manusia yang sedari
tadi ditusuk oleh nada melengking. Saat fungsi itu telah kembali normal, rumah
siput di gendang telinga mulai menangkap sesuatu yang janggal. Terdengar,
sayup-sayup alunan nafas memburu tak beraturan. Dibutuhkan konsentrasi tinggi
untuk memusatkan saraf pendengaran demi menangkap getaran gelombang suara yang
hampir tidak terdengar. Perlahan tempo nafas yang tak beraturan itu kembali
pada tempo yang seharusnya sehingga semakin sulit untuk didengarkan.
Beberapa detik
dilalui tanpa ada gangguan gelombang. Tapi saat pikiran mulai teralihkan, nada
menghentak-hentak teratur menghancurkan kesunyian sesaat. Jelas, tegas, dengan
tempo yang tertata. Ya, sebuah derap langkah pasti untuk menghampiri lokasi
tertentu. Satu, dua, tiga... Enam langkah lalu berhenti.
Sunyi. Fungsi
pendengaran sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk mendengar getaran yang
terlalu lemah. Saat ini, fungsi pengelihatan adalah yang paling tepat. Hanya
saja, pencahayaan yang kurang memadai, menjadi penghambat lensa mata untuk
memantulkan bayangan secara terperinci. Retina menangkap sesosok manusia
berbadan tinggi. Seorang laki-laki tengah berdiri di tengah ruangan luas, yang
ternyata adalah sebuah aula. Kilatan cahaya, yang berasal dari pantulan pedang,
memaksa kelopak mata untuk memperkecil ruang jangkauan pupil.
Laki-laki berbadan
tinggi itu memang menggenggam sebilah pedang panjang. Sebuah katana[1].
Dan ia tengah menunduk, memperhatikan sesuatu yang ada di bawahnya, sesuatu
yang cukup besar. Sebuah benda? Bukan, dilihat dari segimana pun itu adalah
sesosok manusia, dengan posisi berbaring menyamping. Apa yang dia lakukan dalam
posisi itu?
Dia mati.
Genangan darah
segar telah mengelilingi sosok yang tersungkur di lantai. Hipotesis pertarungan
itu memang benar, dan telah mengorbankan satu jiwa. Laki-laki yang berdiri
dengan tenang itu tidak menyesal, tidak gemetar, dan tidak ketakutan. Ia hanya
memasukkan kembali pedangnya yang menjadi sebuah bukti tak terpatahkan bahwa
pedang itu telah merenggut nyawa.
Memang ini
keinginannya, memang ini rencananya. Tak ada yang perlu disesali, tak ada yang
perlu ditangisi. Karena memang seperti ini lah seharusnya. Untuk mencapai akhir
yang diidamkan.
Laki-laki itu
berbalik, berjalan dengan derap langkah yang homogen. Pergi meninggalkan mayat
yang terbaring kaku di atas lantai bergenang darah.
* * *
“Tuan Leonelle!”
Seorang yang
dipanggil dengan nama Leonelle itu menghentikan langkahnya dan menengok ke arah
suara yang memanggilnya.
“Ada apa?”
“Apa yang anda
lakukan? Sejak tadi para petinggi mencari anda, rapat tidak bisa dimulai jika
anda tidak ada,”
“Oh, ya, aku
hampir lupa. Terima kasih telah mengingatkanku, Mary,”
Ia pun tersenyum,
senyum yang bisa membuat semua wanita akan jatuh dalam pesonanya dan terhanyut
akan setiap perkataannya. Inilah yang membuat Leonelle terkenal di kalangan
para wanita.
Dengan anggun, ia
pergi meninggalkan wanita itu yang masih dalam keadaan terpesona karena
ketampanannya.
“Aku tak akan
tertipu,”
Sebuah suara
menyahut di balik pilar istana yang megah itu.
“Nathe? Hai, lama
tak jumpa? Apa kabarmu?”
“Aku tak butuh
basa basi,”
“Oh dinginnya...”
“Jangan pura-pura
bodoh. Ditemukan lagi mayat di ruang ujian West Hall, hanya kau yang sejak tadi
ada di West Hall. Benar bukan, Leonelle Ritch?”
“Apa? Kau
menuduhku? Siapa yang terbunuh?”
“Seorang murid Sword
Dancer level 4, pengguna Twin Sword, namanya Stieghart Marcus,”
“Stieghart Marcus?
Aku tidak mengenalnya,”
“Kau tidak perlu
mengenal orang yang kau bunuh,”
“Kejam sekali.
Atas dasar apa kau menuduhku? Kau tidak punya bukti,”
“Instingku sudah
merupakan bukti,”
Ledakan tawa menggema
di lorong mereka berada. Leonelle tertawa dengan sinis, terkensan meremehkan.
“Jangan sok,
Nathaniel Crosser, selama levelmu dibawahku, kau tak akan bisa mengalahkanku
apapun yang kau lakukan,”
Ia pun pergi
dengan langkah yang angkuh, bagai raja otoriter yang telah mendepak keluar
pembantunya yang tak becus.
Nathaniel hanya
bisa beradu gigi, menahan geram amarahnya yang kian memuncak karena kelakuan
Leonelle yang angkuh dan misterius. Ia mau membuktikan kebersalahan Leonelle,
namun ia tahu bahwa ia tidak pernah bisa menemukan bukti yang cukup kuat untuk
mematahkan alibinya yang sempurna. Yang ia lakukan hanya mengandalkan
instingnya yang ia percaya sangat kuat itu. Meskipun tak seorang pun diantara
sepuluh Guardians of Sword yang mencurigainya sebagai pelaku, tapi tetap saja
Nathaniel memasukkannya ke dalam daftar orang yang perlu diwaspadai.
Kasus pembunuhan
yang beberapa hari ini sering terjadi di Sword Dancer Academy membuatnya cemas.
Pembunuhan yang dilakukan pada para murid pemula yang setingkat level o hingga
4 dilakukan secara acak. Meskipun ia telah meneliti kemungkinan adanya hubungan
satu sama lain antara setiap korbannya, tapi tetap saja tak ditemukan apa-apa.
Ia tidak suka dengan kasus yang tak terselesaikan seperti ini. Baginya, yang
berada di divisi investigasi, setiap kasus pasti ada penyelesaian. Entah
bagaimana caranya, tapi pasti ada kelemahan dari suatu kasus yang menjadi
benang merah dari teka-teki dan tipu muslihat. Tapi baru kali ini seorang
Nathaniel Crosser, pemimpin divisi investigasi dari kasus pembunuhan Sword
Dancer yang ber-IQ 200 dan memiliki level 8 sebagai Sword Dancer juga salah
satu dari 3 orang terkenal pengendali triple Sword Dancer, bisa kewalahan
menangani kasus pembunuhan yang bahkan terjadi di wilayahnya.
Karena itu
akhir-akhir ini ia menjadi uring-uringan, bahkan bernafas pun terasa sulit
baginya. Ia hanya bisa menunggu, dan melihat progres dari kasus yang terus
menerus terjadi. Walaupun ia tahu, ia tidak mungkin membiarkan begitu saja
murid-murid yang terbunuh untuk hal tidak masuk akal ini. Karena itulah ia
telah mengizinkan pada semua murid agar selalu siaga dan mengaktifkan Signer
mereka dan jangan pernah sendiri dalam suatu ruangan.
Begitulah keadaan
Sword Dancer Academy sekarang.
Nah itulah prolog, seru ga sih? well, gue butuh banget komen komen dari kalian. Dari bahasa, alur, atau apa kek, saran atau kritik juga boleh, pliiisss... Arigatou~ :D
-mizu-